Indonesia, bukan, sebaiknya Nusantara, iya

Ini adalah suasana hiruk pikuk yang menyebalkan sebenarnya. Ada banyak keriuhan yang membuat gaduh, tapi penuh dengan kata-kata tak menyentuh. Seandainya itu adalah suara anak-anak yang berceloteh ceria, saya tak hendak mengernyitkan dahi. Saya hanya akan mendengarkannya dengan seksama, sambil berharap ada sejumput kebijakan yang terselip di antara obrolan mereka. Namun, keberisikan ini belum lagi akan menghilang karena masih akan berlanjut hingga 1 bulan ke depan.

Iya, selama berpuluh-puluh tahun hidup di negara tercinta ini, saya ingat kalau antusiasme atas hiruk pikuk hanya berlangsung sekali saja. Dulu, ketika saya berusia sekitar 10 tahun, rasanya sangat menyenangkan ikut berkampanye di atas mobil truk engkel atau elf untuk merayakan pesta demokrasi. Saya bersemangat, apalagi karena ada Rhoma Irama sebagai juru kampanye PPP di lapangan Manonjaya, Kab. Tasikmalaya. Itu adalah momen tak terlupakan dalam hidup saya.

Namun, kini, walaupun sang Raja Dangdut juga turut memeriahkan kampanye PKB dan mementaskan dirinya sebagai salah satu Capres, saya emoh untuk berpartisipasi. PKB di bawah kepemimpinan cak Imin hanya mewariskan banyak peer tak terselesaikan. Kapasitas pribadinya memang belum terlalu besar untuk menyelesaikan banyak masalah karena dia tidak berorientasi pada kinerja. Bagi saya yang bergulat dalam keseharian yang bersifat administratif, hal-hal teknis dan solutif menjadi orientasi utama. Ada yang harus dikerjakan, ada masalahnya, dan ada penyelesaiannya. Sedikit ruang untuk berfilsafat di sini, tetapi lebih banyak untuk ber-praxis secara nyata.

Terlepas dari kekurangan cak Imin, saya merespon positif apa yang diputuskannya untuk bergabung pada kubu Jokowi-JK. Ini adalah suatu poros di mana orang Indonesia menaruh harapan besar untuk perubahan ke arah yang lebih baik lagi. Dalam bayangan saya, perubahan ke arah menuju Nusantara kembali. Sempat kecewa karena pilihan Wapres dijatuhkan pada sosok JK. Meski menolak, saya sadar sepenuhnya dan paham karena untuk skala perubahan yang lebih besar, kita tidak bisa melepaskan gerbong masa lalu.

Harapan sih harapan, tapi ternyata harapan ini perlu dibarengi dengan satu antisipasi. Dalam peristiwa yang belakangan terjadi, eskalasi kekerasan menjelang pilihan Presiden ternyata malah meningkat. Berkacamata dari peristiwa Yogyakarta, dan ini menjadikan teman saya Michael Aryawan sebagai salah satu korbannya, saya banyak berhitung tentang apa yang kira-kira bakal terjadi jika Prabowo-Hatta tidak terpilih sebagai Presiden atau malah terpilih sebagai Presiden. Sebab, kubu Islam garis keras berada di sana. Membayangkan karakter Islam yang tidak bisa menjadi rahmatan lil alamin (rahmat untuk semuanya) ada di pucuk kepemimpinan itu bukanlah sesuatu yang saya sukai. Walaupun demikian, saya berharap, semoga semuanya baik-baik saja setelah alam menentukan apa yang seharusnya terjadi.

Saya memang tidak bisa menyumbangkan suara pada Pemilihan Presiden saat ini karena terkendala urusan teknis. Suara saya akan saya berikan pada perubahan yang akan menjadikan Indonesia lebih baik lagi, yaitu menjadi Nusantara. Be a good citizen my friends and don’t bully or harsh anyone. ^_^

Image by Thanks for your Like • donations welcome from Pixabay