September, 1996
Trek … trek … terdengar dua kali suara kunci itu saat memutar. Ia lalu membuka pintu kamarnya yang tak seberapa. Maklum, hanya sebuah petak dengan ukuran 2 x 1 m. Tangannya lalu bergerak ke sebelah kiri. Klik. Saat kamar terang, terasa pengap di dalam. Kamar itu juga terlihat berantakan. Padahal, barang-barang yang ada tersusun dengan baik. Ini karena tidak ada satu lemari pun di kamarnya itu. Kemudian, ia menghampiri jendela dan membukanya sembari membiarkan pintu kamarnya terbuka begitu saja.
Sesudah itu, ia lalu duduk menghadap meja. Ada sesuatu yang tergeletak di meja. Rupa-rupanya, itu nasi bungkus. Tidak lama kemudian, ia pun mengambil nasi bungkus itu. Ketika makan, nampak ada sesuatu yang sangat mengganggunya. Pelan sekali ia mengunyah sambal sesekali berhenti.
Hening di kamar, karena tiba-tiba saja ia terdiam. Terlihat, pandangan matanya seperti menerawang. Menembus apa-apa yang ada di hadapannya. Pikirannya sedang bekerja keras pula rupanya, karena dahinya pun turut mengerut. Entah apa yang dipikirkannya itu (?). Mungkin juga soal yang rumit kalau ditilik dari ekspresi wajahnya yang serius.
Saat ia bergerak hendak membuang sisa nasi bungkus itu, tiba-tiba … deg. Seketika itu pula tangannya berhenti dan badannya sepertinya mematung. Ada secercah ingatan yang kemudian masuk dalam pikirannya dan membuatnya demikian.
“Trang … Trang …!”
Itu suara besi yang dipukul. Pak Amir terlihat tekun dengan palu besinya, menempa besi panas yang baru saja keluar dari tempat pembakaran. Suasana riuh juga nampak di sisi yang lain dari tempat pandai besi milik pak Tardjo itu. Beberapa orang sedang mengangkat wajan yang berisi cairan timah dengan uap yang mengepul. Mereka lalu menuangkannya ke dalam balok-balok cetakan.
“Aneh …, kenapa ingatan ini yang muncul?”, gumamnya setelah beberapa saat kemudian.
Matanya menatap tajam pada kresek bekas wadah nasi bungkus. Sebuah gagasan muncul begitu saja dari pikiran yang menyatukan ingatan tadi dengan apa yang dilihatnya. Ya …, suatu ide yang cemerlang. Atau, mungkin juga suatu ide yang sangat bodoh. Ah …, ia sendiri nampaknya tidak peduli apakah idenya itu bodoh atau tidak.
“Ide itu mesti jadi …!”, batinnya dalam hati.
Kemudian, ia mengambil kresek itu, lalu menyimpannya dalam laci meja.
“Ah … sayang juga! Kalau saja kresek ini lebih banyak, tentu akan lebih gampang,” begitu ia lagi-lagi bergumam.
Juli, 1998
“Mbok …, ya mbok …!”, suaranya terdengar memelas. Tangan yang mungil itu nampak menarik-narik kain si mbok.
Sementara itu, si mbok terlihat diam tak menjawab. Bingung rupanya. Sekali lagi, si kecil berbuat hal yang sama.
“Ya …, mbok akan usahakan! Tapi, nduk mesti sabar dulu. Kan, si mbok ini juga mesti cari uangnya dulu,” begitu si mbok akhirnya menjawab. Walaupun wajahnya masih terlihat penuh keraguan. Takut, kalau apa yang ia janjikan pada anaknya itu tidak terwujud.
Anak kecil itu terlihat senang mendengar jawaban ibunya. Sesudah itu, ia lalu berlari ke arah kerumunan anak-anak lain yang sedang bermain. Tak lama, ia sudah asyik bermain petak umpet bersama anak-anak itu.
“Ada apa to, mbok Yan?”, tanya Joko yang baru saja datang.
“Oh … nak Joko! Ini …, si nduk kan baru saja masuk sekolah. Dia minta dibelikan tas yang baru dan sepatu baru. Kalau untuk seragamnya sih masih ada. Bekas si Tati, ponakanku itu lho …! Tapi …, mbok bingung. Mbok lagi gak punya duit. Ada juga, duit untuk belanja besok. Kalau dipake, bagaimana mbok bisa jualan dan buka warung?”
Joko terdiam. Ia nampak begitu perhatian dengan masalah yang dihadapi oleh mbok Yan. Bukan apa-apa, tapi karena mbok Yan sudah sering membantunya. Terutama untuk urusan utang-mengutang. Ia sering ngutang dulu, kalau misalnya ia belum dapat uang untuk beli makan. Sekarang, mbok Yan sedang mendapat masalah. Joko ingin sekali membantu. Tapi, ia sendiri belum dapat sepeser uang pun hari ini. Biasanya, ia dapat lima ribu perak dari tempat mangkalnya di Pasar atau Terminal. Memang, hari ini Joko mungkin lagi apes. Tidak ada seorang pun yang memberi order padanya. Baik order untuk jadi kuli pengangkut beras maupun jadi kernet angkutan umum.
“Ah …, bagaimana caranya yah? Kantongku lagi kosong dan mbok Yan lagi dapat masalah,” gumamnya dalam hati.
“Mbok …, biasa yah! Lagi tong pes nih …,” kata Joko kemudian.
Walaupun Joko sebenarnya meras tidak tega untuk berkata demikian. Tapi, bagaimana lagi caranya untuk menahan lapar yang sedang ia rasakan saat ini. Sejenak kemudian, ia sudah makan dengan lahap. Sementara, mbok Yan sudah sibuk kembali melayani pelanggan yang lainnya.
Setelah makan, Joko lalu berjalan menyusur jembatan. Saat ia menoleh, tiba-tiba ada benda yang melayang jatuh menimpa wajahnya. Plok. Ia kaget, dan hampir saja tergelincir jatuh. Untung saja benda yang menimpanya itu bukan sebuah benda keras. Andaikan demikian, bukan tidak mungkin wajahnya akan menjadi bonyok dan memar-memar. Ia lalu memungut benda itu, yang ternyata hanya sebuah kresek hitam.
Saat ia memandang kresek itu, ia teringat sesuatu yang sudah sebulan ia lupakan. Yah …, ia memang sudah lupa akan hal itu. Ia lalu bergegas pulang ke kostnya.
Setengah jam kemudian, Joko nampak terlihat menggendong dua kardus Gudang Garam. Tapi, kayaknya, kardus itu terlihat ringan-ringan saja. Ada apa gerangan yang dilakukan oleh Joko? Dari arah Selatan, sebuah becak melaju dengan cukup kencang. Joko tidak melihat becak itu, karena ia nampak tergesa-gesa untuk sampai di seberang. Ciiitt … Terdengar keras sekali suara rem becak itu saat diinjak. Becak itu tepat berhenti di samping Joko. Jaraknya hanya kurang dari setengah meter. Joko terpaku, jantungnya terasa copot dan badannya terasa lemas.
Seorang wanita yang masih muda keluar dari becak itu. Ia memandang Joko dengan tajam. Wajahnya terlihat marah dan agak tegang. Saat itu, muka Joko masih tertutup oleh kardus tersebut. Joko meletakkan kardus itu, lalu berbalik menghadap wanita itu.
“Ya ampun …, kamu to!”, suaranya terdengar menyentak keras.
“Nggih …, mbakyu,” kaget juga Joko saat melihat siapa yang siapa yang berdiri di hadapannya itu. Joko tak mengira jika yang di hadapannya ini adalah mbakyu Rini. Sudah lama ia tidak bertemu dengannya. Mungkin, lima atau enam bulan lamanya.
“Kenapa kamu ini Jok …? Kayaknya kamu terburu-buru sekali,” suaranya nampak melunak.
“Ini … mbakyu, Joko baru mau ke pasar. Kalau nggak buru-buru, nanti keburu tutup. Sekarang kan sudah jam tiga.”
“Memangnya ada apa Jok …?”
“Ini … mbakyu, Joko mau jual kresek yang ada di kardus ini sama mbok Minah. Siapa tahu harganya lumayan. Sekarang kan plastik mahal, gara-gara krismon (krisis moneter),” sekali lagi Joko memberi penjelasan.
Rini nampak tertegun mendengar penjelasan Joko. Ia ingat saat pertama kali mengenal Joko. Ia adik kelas Rini. Saat Rini kelas tiga (SMA), Joko masih duduk di kelas satu. Ia periang, cerdas, walaupun sedikit nakal. Tapi, saat ini, Joko yang periang nampak sudah berubah sama sekali. Banyak sekali kekusutan nampak di wajahnya. Yang membuatnya kembali tertegun adalah ketika ia sadar bahwa yang di hadapannya bukan Joko yang dikenalnya. Joko yang ada di hadapannya, adalah Joko yang sudah masuk dalam lingkungan kehidupan yang keras dan penuh liku-liku. Joko yang idealis sudah terbenam dalam bayang-bayangnya yang sekarang. Sesaat, Rini tak tahu lagi apa yang harus ia katakan. Kemudian, ia teringat dengan pesanan bu lik-nya yang menyuruhnya untuk membeli kresek untuk keperluan warung baksonya.
Rini lalu berkata, “Jok …, bagaimana kalau kresek-nya yang dua kardus ini saya beli?”
Joko diam. Ia bingung dengan tawaran Rini.
“Bagaimana Jok …?” sekali lagi Rini bertanya.
Akhirnya, setelah berpikir sejenak, Joko mengiyakan.
“Oh ya … mbakyu, tolong dilihat dulu kresek-nya. Siapa tahu kresek-nya ada yang rusak,” kata Joko kemudian.
Rini lalu membuka kardus itu. Begitu banyak kresek yang tersimpan dalam kardus itu. Kresek-kresek itu nampak tersusun dan terlipat dengan rapi. Walaupun bekas pakai, tapi karena kresek itu disimpan dengan baik, kresek itu nampak seperti baru. Setelah memeriksa sebentar, Rini kembali berkata kepada Joko.
“Semuanya masih baik. Berapa harganya Jok …?”
Sekali lagi, Joko bingung bagaimana ia harus menentukan harganya. Sebab, ia sendiri tidak begitu tahu berapa harga kresek saat ini. Ia hanya diam.
“Jok …, kok malah melamun! Begini saja …, saya beli dengan harga tiga puluh ribu rupiah untuk semuanya.”
“Ya …,” kata Joko sembari mengangguk.
Kemudian, Rini menyerahkan tiga lembar uang sepuluh ribuan pada Joko. Ia memanggil tukang becak dan menyuruhnya untuk mengangkat kardus itu ke dalam becak. Nampak penuh becak itu dengan barang-barang belanjaan ditambah dua kardus tersebut. Ruangan dalam becak yang masih tersisa hampir tidak ada. Rini lalu berkata kepada tukang becak.
“Pak Karim …, barang-barang belanjaannya tolong diantarkan ke rumah yah. Nanti, tolong katakan sama Ibu, Rini ada perlu dulu sebentar.”
Pak Karim mengiyakan, kemudian kembali mengayuh becaknya untuk mengantarkan barang-barang belanjaan itu.
“Oh ya … Jok, mbakyu ingin berbicara dengan kamu. Sudah lama kita nggak ngobrol bareng. Kamu ada perlu nggak …?”
“Yah …, kalau mbakyu ingin bicara, Joko mungkin bisa. Tapi, jangan lama-lama yang mbak?” kata Joko. Ia masih teringat dengan apa yang harus dilakukannya nanti. Membeli sepatu dan tas buat anaknya mbok Yan itu.
“Joko … Joko, kamu kan tahu sendiri, yang paling senang berbicara itu kan kamu juga!”
“Oh …, ini urusannya kan lain mbak!” kata Joko mencoba mengelak.
“Ya sudah …, mbak bicara nggak lama kok!”
Kemudian, mereka berdua nampak berjalan ke sebuah kedai minum. Sementara itu, sambil berjalan, pikiran mereka berdua sibuk dengan bayangannya sendiri. Joko sendiri berpikir tentang impian yang terpaksa ditanggalkannya itu. Sebuah impian masa lalu, dan itu berkaitan dengan kresek yang baru dijualnya tadi pada mbakyu Rini. Sedangkan Rini sibuk dengan pikirannya yang coba membayangkan bagaimana keadaan Joko yang sekarang. Ia berharap, lewat pembicaraan yang singkat itu, sedikitnya ia dapat mengetahui hal tersebut.
Apakah impian dan harapan itu? Setidak-tidaknya pertanyaan itu yang kemudian berkecamuk dalam benak mereka saat ini.
Yogyakarta, 22 Oktober 1998
Unduh cerpen dalam bentuk pdf