Sepanjang perjalanan hidup saya selama 30 tahun lebih, saya belum menemukan cara berlebaran dengan lebih baik. Ini karena saya pribadi masih termasuk dalam arus massa di Indonesia yang merayakan Idul Fitri dengan suatu cara yang unik, namun justru menjauhkan kita dari esensinya. Bagaimana tidak, setiap masuk dalam puasa Ramadhan, bukannya menahan diri seperti semangat yang didedikasikan untuk menghormati kaum fakir dan miskin, kita malah mencari buka puasa dengan menu yang banyak macamnya. Seakan-akan, kita hendak membalas dendam atas “ketidakbolehan” untuk makan seperti biasanya.
Begitu pun dalam kacamata ekonomi, Ramadhan di Indonesia menghadirkan eskalasi pemborosan sumber daya karena banyak yang harus dibeli. Ini dimanfaatkan oleh para pihak, seperti para pedagang atau konglomerasi, yang ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan cara menaikkan harga secara bertahap, setiap hari puasa bertambah. Masyarakat miskin pun semakin sulit mendapatkan kebutuhan pokok dengan harga yang sewajarnya. Meski ada ta’jil atau menu buka puasa yang disediakan gratis oleh orang-orang yang masih peduli, tetapi tetap sulit untuk membantu kebutuhan sehari-hari kaum fakir dan miskin apalagi menurunkan harga secara massif.
Belum lagi, ongkos transportasi yang harus ditanggung karena setiap orang di Indonesia sepertinya “diwajibkan” untuk mudik pada saat hari Raya. Ini menjadi momen penting untuk pertemuan keluarga dari berbagai generasi. Oleh karenanya, banyak orang tidak ingin kehilangan momen tersebut dan harus merelakan kocek mereka meski sebesar 1 bulan gaji hanya untuk kebutuhan ongkos. Namun, peristiwa yang baik ini, dalam amatan saya, bukannya dimanfaatkan untuk saling bertanya kabar saja semestinya. Apakah ada di antara kita yang bertanya, apakah anak si paman A sudah mendapat pembiayaan sekolahnya apa belum atau suami si budhe B yang sedang sakit sudah mendapat perawatan semestinya apa belum?
Ternyata, kebanyakan dari kita hanya memikirkan baju baru dan hendak pamer di antara keluarga besar. Lebaran identik dengan “baju baru”. Orang akan menertawakan anda ketika anda mengatakan: “Lebaran ini, saya dapat buku baru lho. Bagus. Ini karya sejarah mengenai Tanah Jawa.” Tidak ada kata lebaran identik dengan “buku baru” atau malah justru “hidup baru”.
Hidup baru yang saya maksud bukanlah bermakna anda punya pasangan atau mantan pacar yang anda nikahi secara sempit. Hidup baru adalah sebuah semangat untuk membuat kita lebih baik lagi. Jika esensi Idul Fitri adalah kembali kepada fitrah, maka hati kita akan menjadi suci kembali. Tidak ada pikiran buruk, tidak ada kata-kata kotor berisi penghinaan maupun fitnah, atau tindakan yang melebihi kemanusiaan kita. Kita akan menghargai sesama juga semua yang hidup di bumi ini dengan perasaan yang rendah diri dan ingin belajar pada siapa pun. Ini jalan Idul Fitri yang saya hendak wujudkan sekarang bersama keluarga. Mudah-mudahan bisa terlaksana dengan baik.
Mohon maaf atas kata-kata kami yang menyinggung atau tindakan kami yang membuat sakit hati. Selamat merayakan Idul Fitri kepada keluarga, sahabat, dan teman-teman semua, juga bantu kami menjadi lebih baik lagi.
Ahmad Ibrahim B. dan Adee Dwi Setyaningsih sekeluarga
Image by Yazid Nasuha from Pixabay