Aku tak tahu harus menyimpan kesedihan ini di mana. Ia menghampiriku berturut-turut. Ada kehilangan pekerjaan saat tahun baru itu dimulai. Kemudian, istriku terjatuh saat khusyu mengepel lantai hingga satu minggu baring terkulai. Tak cukup sampai di sini, ada kabar duka dari bibiku tentang paman yang berpulang dalam damai. Begitu juga akhirnya, tiga bulan pencarian pekerjaanku tak kunjung usai.
Atas semua ini, aku tak tahu lagi harus berkata apa. Sedihnya menggunung. Meski tak membuatku berhenti bergerak, tapi aku tak tahu harus berbuat apa. Rasanya lengkap dan seperti berada di ujung. Sebuah tepian tak bertuan dari ketidakpastian.
“Arghh…,” geramku menghantam waktu.
Apakah aku si sial yang tak cukup kenyang dengan mual? Mulai aneh-aneh pertanyaanku, seperti berkhayal dalam gelap gulita. Setimpal sunyi, sewadah sepi.
Akhirnya, kantuk pun datang. Mendekapku yang capai setelah seharian perjalanan yang panjang. Di antara temaram lampu lima watt, untungnya aku tak bermimpi yang gawat. Seperti dikejar penagih hutang yang bengis dan kuat. Malah, ada keheningan malam membelai. Di sampingku, istriku masih setia menemani. Itu sudah cukup untuk bekal esok pagi meski perut belum terisi setiap hari.
Hari baru ini nampaknya masih sama ketika letih mengiringi perjalananku mencari sebuah pekerjaan. Aku sulit dapat kembali. Tak tahu kenapa, padahal bukan karena aku pernah maling dari kantor. Hanya alasan rasionalisasi yang aku tahu. Itupun gegara online, katanya. Aku bingung, padahal tetanggaku menuai sukses dengan online–online itu. Ia bahkan dapat membeli mobil karenanya. Kenapa aku malah jadi lepas pekerjaan?
“Bang, ayo ikut. Di sana, ada pembagian sembako. Seorang saudagar sedang merayakan kelahiran putranya setelah menunggu berbelas tahun.” Belum usai pertanyaanku terjawab, aku terkaget-kaget ketika orang yang mengajakku ini menarikku tergopoh-gopoh menuju satu rumah besar di salah satu sudut jalan daerah Kelapa Gading. Sudah ada antrian, tetapi belum banyak. Aku berada di urutan kedua puluh tiga di belakang anak muda yang mengajakku ini.
Setelah mengantri selama hampir satu jam, aku mendapat sebungkus sembako yang cukup besar. Perbekalannya cukup untuk tiga sampai empat hari. Jika berhemat, bisa cukup untuk seminggu. Masih lebih beruntung daripada aku jadi buruh cuci piring demi sebungkus nasi.
Ia masih mengajakku pergi ke kamar kontrakannya yang tak seberapa besar. “Ayo Bang, kita makan dulu. Tadi aku dapat bonus tiga nasi bungkus sehabis kuli angkat barang di toko Babah Ong.” Ia bercerita soal pekerjaannya di pagi hari. Sekali lagi, keherananku bertambah. Kenal saja belum, kenapa bisa seramah ini? Mengajakku makan pula dari hasil keringatnya.
“Ayo makan Bang! Jangan sungkan. Aku kan masih punya nasi bungkus untuk malam nanti.” Melihatku yang bengong, ia berkata serupa itu. Akhirnya aku ikut makan juga dengan lahap. Aku kenyang, mataku mulai benderang. Lalu, aku mulai bertanya padanya.
“Namamu siapa Dik? Kenapa kamu sebaik ini?”
“Namaku Joko, Bang. Orang-orang sekitaran sini sering memanggilku Joko ‘Kimpul’. Mungkin karena badanku kecil kali ya aku dipanggil dengan julukan itu.” Ia menjawabku dengan setengah bercanda dan juga riang.
“Oya, aku gak baik-baik amat kok Bang. Kadang nakal juga. Sering aku panjat pohon jambu di daerah pabrik sana untuk petik beberapa. Lalu dikejar satpam kabur terbirit-birit. Haha…” Kali ini, dia tertawa agak keras menjelaskan kelakuannya yang bengal.
Kami berbincang ngalor-ngidul akhirnya hingga sore. Sebelum aku pamit pulang, aku sempatkan bertanya padanya.
“Apa resepmu sehingga kau merasa renyah dalam hidup ini?”
Joko lalu terdiam sejenak, lalu menuju lemari kecil di dinding kamar. Ia membuka dan mengeluarkan kotak kecil kayu jati dari dalamnya. Ia berkata padaku.
“Ini rahasianya Bang. Abang boleh pinjam berapapun lamanya. Oleh kakekku, aku diberi ini. Kakek berujar: ‘kalau kamu merasa sedih atau pilu, tiupkanlah kesedihan atau kepiluanmu ke dalamnya hingga terasa lega. Jika masih belum cukup, engkau lakukan itu berkali-kali sampai kau lega sebenar-benarnya. Tak perlu dilakukan tergesa-gesa. Berminggu-minggu pun bisa sampai engkau merasa kalau kotak itu penuh. Jika masih tak berasa lega, bukalah kotak itu agar kesedihanmu menguap seperti asap.’ Itulah pesan kakekku ketika memberikan kotak ini.” Kimpul tersenyum melihatku kembali ternganga mendengar omongannya.
Aku tertegun demi melihat kotak itu diberikan padaku. Walaupun hanya pinjaman, ini seperti sebuah mukjizat. Ya, aku seperti mendapat durian runtuh hari ini. Setelah mendapat jatah sembako, nasi sebungkus, dan kini, sebuah kotak harapan. Aku menganggapnya demikian. Ucapan Kimpul telah membuatku semangat. Seperti menemukan sebuah solusi untuk cerah kembali. Bagiku yang minim pendidikan apapun, baru kali ini ada yang mengajariku hal yang sangat berharga. Sedari kecil, tiada punya orangtua. Hanya seorang bibi yang terlalu sibuk berjualan pecel dan paman baik hati pegawai rendahan di kantor kecamatan. Karena paman jugalah aku bekerja di sebuah toko elektronik milik kenalannya.
Setelah pamit, aku bergegas pulang. Kimpul pun mengantarku ke depan.
“Hati-hati bang Jaya! Salam untuk istrimu di rumah.” Lambai Kimpul sembari tersenyum ramah.
Berlalu seminggu dari jumpa Kimpul, aku masih saja apes. Pekerjaan tetap tak kunjung dapat. Hanya bisa kerja sesekali untuk memenuhi hajat hidup. Ketika kembali ke rumah, aku teringat kotak itu. Tanpa menunggu lama, aku mengambilnya dengan takzim. Ku ajak istriku untuk sama-sama menghormatinya. Mengheningkan cipta, melabuhkan asa, untuk menguras sedih dengan niat dan doa.
Bila aku telah pulang, kami lakukan hal itu kembali. Begitu khidmatnya kami. Kami seperti menemukan hal yang baru dalam ritus epik penutup hari. Tiada bosan untuk lagi dan lagi.
Sudah dua puluh tiga hari, aku ternyata kembali ke jalan bertemu Kimpul. Aku putuskan untuk mampir ke kamar kontrakannya. Sayang, dalam lima ketukan pintu, tak jua bersahut. Barangkali ia masih bekerja di luar sana, pikirku menduga-duga. Dengan hampa, aku tinggalkan tempat itu. Sempat bertanya pada warung di depannya, si ibu itu bilang kalau Kimpul sedang bekerja dalam proyek MRT (Mass Rapid Transport) atau Kereta Cepat di daerah Cikarang karena yang di Kelapa Gading tinggal penyelesaian tahap akhir.
Sekali lagi, Kimpul memberiku semangat tanpa ia hadir. Namun, tiga hari setelahnya, nasib seperti tak beranjak. Kami kembali ke kotak dengan penuh khidmat.
Menjelang genap hari ketiga puluh, aku diberitahu oleh tetanggaku yang online itu kalau sebuah perusahaan ekspedisi sedang mencari pendamping kurir mobil. Tugasnya membantu pengemudi untuk menurunkan barang-barang berukuran lumayan besar. Aku pun bergegas mendatangi kantor ekspedisi itu untuk menanyakan kebenarannya. Mereka mengiyakan dan kebetulan belum ada yang berminat. Aku pun mengajukan diri untuk melamar pekerjaannya. Mereka bilang:
“Besok kami akan hubungi. Ada nomor telepon yang dapat dikontak?”
Aku memberi nomor telepon tetanggaku yang online itu karena dia sudah bilang untuk memakai nomornya saja kalau mereka tanya.
Di rumah, aku rebahkan tubuh yang penat ini. Merenungkan sekian lama kesulitanku, sebenarnya tak beda jauh dari saat aku bekerja di toko elektronik itu. Seringkali, aku masih perlu berhutang hingga gaji di bulan depan selalu berkurang. Tak pernah cukup. Yang aku heran, meski kini tak bekerja, makan pun sedapatnya, tapi malah tak perlu pinjam. Bagaimana mungkin aku berani pinjam sebenarnya, kerjaku kan juga tak tentu. Kadang dapat borongan membangun rumah sebagai tukang, kadang hanya sekadar buruh kuli pasar setengah hari.
Esok hari, saat aku bersiap pergi mencari sesuap nasi, tetanggaku datang menghampiri.
“Bang Jaya, mereka suka dengan kepolosan dan kejujuranmu. Abang sudah bisa bekerja hari ini juga.” Ia berujar dengan sungguh.
Aku seperti meledak dan lalu berucap terima kasih pada tetanggaku itu. Bergegas ke dalam, aku pamit pada istriku yang terheran-heran melihatku sangat semangat. Aku bilang padanya, nanti ku ceritakan. Sekarang, aku harus segera pergi. Ia mengangguk dan cerah melihat suaminya kembali bergairah.
Sesampainya di sana, aku diberi briefing atau arahan oleh sang kepala ekspedisi sambil dikenalkan pada pengemudi yang akan menjadi pasanganku bekerja.
“Ini pak Hamid yang akan bekerja bersamamu. Ia supir andalan kita di sini.”
Pak Hamid menjabat tanganku lalu menepuk pundakku.
“Ayo, kita harus segera bekerja keras untuk kirimkan barang ke para pelanggan kita. Jangan buat mereka menunggu terlalu lama.”
Ketika Jaya memulai pekerjaannya sebagai pendamping kurir mobil, Kimpul sedang kembali ke kamar kontrakannya itu. Ia diberitahu Ibu warung depan kalau ada seseorang yang mencarinya. Namanya Jaya. Kimpul tentu masih ingat dengan bang Jaya yang waktu itu diajaknya antri sembako. Ia tersenyum lalu memutuskan untuk menulis surat untuk bang Jaya. Surat ini ia titipkan di Ibu warung depan karena hari itu juga ia mesti kembali berangkat ke Cikarang.
Meski penat sepenuh badan, aku pulang dengan sukacita. Selepas mandi, aku berikan sejumput rupiah pada istri. Berbinar ia menerimanya, sembari bertanya:
“Darimana Bang ini? Kau dapat kerjaan apa hari ini?”
Aku bilang kalau aku sudah dapat pekerjaan tetap meski baru seminggu. Pendamping kurir mobil kataku. Ini masih masa percobaan dengan upah harian. Kalau kerjaku baik, aku bakal dikontrak selama setahun. Istriku mendengar dengan semangat. Ia menimpali, kalau dia juga punya kabar baik. Aku bertanya soal apa itu. Ia menjawab:
“Aku sudah telat selama dua bulan Bang. Gak terasa sih mualnya. Kayaknya aku positif.”
Aku tercekat. Sekali lagi, aku meledak. Kupeluk haru istriku. Dalam sepuluh tahun kami bersama, tak jua hadir tanda seorang buah hati. Kini, semuanya mendadak berubah dalam sekejap. Sehari, kebaikan itu datang berurutan. Dalam lega, kami melakukan ritus itu kembali. Aku pun berkata dalam hati, kotak harapan itu sudah harus kami serahkan pada empunya. Tak lama, kami tertidur pulas dengan senyum penuh puas.
“Selamat bang Jaya! Semoga kelegaan menyertaimu. Aku cuma mau bilang kalau aku titip sesuatu di Ibu warung depan untukmu.”
Aku terhenyak saat bangun dari tidur. Kimpul berkata serupa itu dengan senyum ramahnya di mimpiku. Tapi, tak hendak bertanya-tanya lama, aku harus segera kerja. Setelah memeluk istriku, aku berangkat ke kantor ekspedisi.
Setelah empat jam memutar mengantar barang satu per satu, kami singgah untuk makan siang di sebuah warung. Aku kaget. Bukannya ini warung depan kamar kontrakannya Kimpul? Setengah tak percaya, aku kucek-kucek mataku. Tadi sempat tertidur saat macet melanda perjalanan kami. Untung pak Hamid ini orang baik. Ia membiarkanku tertidur karena sedari tadi telah bekerja keras untuk memindahkan barang dengan hati-hati ke rumah pelanggan.
Ibu warung depan itu berkata kalau dia dititipi surat oleh Kimpul. Kebetulan kamu mampir kemari katanya.
“Bang Jaya, aku tak tahu kapan bisa bertemu lagi. Pekerjaanku di Cikarang masih panjang dan aku tak bisa mampir lama-lama. Jangan berpikir soal kotak itu lagi. Simpanlah, semoga manfaat. Mungkin ini waktunya Abang buka kotaknya.”
Singkat isi surat Kimpul. Aku tertegun. Bukankah dulu ia bilang kalau kotak itu baru dapat dibuka kalau aku masih tak berasa lega setelah berusaha? Aku hanya bertanya dalam hati.
“Ayo, segera habiskan makanmu. Kita harus segera pergi ke Tanjung Priuk.” Pak Hamid mengingatkanku.
Ya, kami masih punya dua hingga tiga tempat lagi yang harus dikejar sebelum malam datang.
Akhirnya, aku kembali ke rumah. Aku bilang pada istriku kalau aku dapat surat ini dari Kimpul. Istriku membacanya. Ia bilang kalau itu semua terserah abang saja. Namun, walaupun kami sepakat untuk membukanya, kami lakukan penghormatan seperti biasa terlebih dulu. Kemudian, kami buka kotak itu bersama.
Aku tak berharap ada suatu yang mistis terjadi karena ini membuatku takut. Setengah menghela nafas, aku membukanya. Satu hingga dua menit tak ada kejadian apapun. Tapi, aku temukan sebuah kertas lusuh di dalamnya.
“Hidup itu tak mudah,
tak pula susah,
cuma butuh segenap hatimu
sampai kembalimu. ”
Ada nama di akhir tulisan, Wijoyo. Singkat sekali seperti tulisannya. Untungnya, aku masih bisa membacanya karena sering bantu bacakan tulisan paman untuk diketikkan oleh paman atau saat aku harus ketikkan sendiri. Tulisan ini masih lebih baik dari tulisan pamanku yang seperti rambut bergulung itu.
Aku dan istriku saling bertatapan.
“Beruntung sekali Kimpul. Kakeknya itu seorang yang bijak.” Kami lalu berjanji untuk sama-sama menjumpainya di Cikarang saat ada kesempatan.
Esok hari, mobil ekspedisi kami harus berangkat ke Cikarang. Wah, kebetulan kataku. Aku mungkin bisa cari informasi soal Kimpul. Menjelang pintu tol Cikarang, aku lihat ada reruntuhan. Cukup banyak. Mobil merayap dengan hati-hati dengan panduan dari pekerja yang sedang bersihkan puing-puing. Saat dekat dengan pekerja yang memandu, ku sempatkan bertanya.
“Bang, ada apa ini?”
“Itu Mas, tiga hari lalu ada musibah saat Crane yang sedang memindahkan baja putus talinya menimpa lokasi pembangunan MRT di sisi ini.”
“Oh, itu kan yang sedang dalam proses pembangunan awal ya?”
“Iya Mas. Benar. Itu lanjutan dari yang sudah ada.”
Saat aku hendak bertanya lagi, mobil ekspedisi kami sudah harus beranjak. Aku ucapkan terima kasih sembari berteriak. Aku penasaran, apakah Kimpul bekerja di sektor ini apa bukan. Pikiranku tak berlanjut ke mana-mana karena pak Hamid sudah mengajakku ngobrol dan tanya lokasi tepatnya tujuan kami. Aku segera mencarinya dan menunjukkan jalan yang hendak kami tuju. Setelah kami menemukan jalan dan tempatnya, kami bergegas turunkan barang. Saat menurunkan barang itulah pikiranku kembali ke Kimpul. Aku cuma bisa berharap, semoga kau memang bekerja di sana dan tunggulah kami, Kimpul.
Depok, 24 Februari 2019.
Unduh cerpen dalam bentuk pdf