Kebenaran dan Ikan Bakar

Sebuah Dialog Sokrates dengan Kabayan

Sokrates: “Kang, saya itu selalu dihantui kebingungan. Esensi kehidupan itu apa sih? Ketika berdialog dengan para sofis dan orang-orang di agora Athena, lebih banyak yang tak paham apa itu bahagia, apa itu kesenangan, atau apa itu kebenaran. Malah banyak orang sekarang turun ke jalan Athena karena kebijakan penguasa yang gak pas dan banyak yang kelaparan karena krisis.”

Kabayan: “Duh, kok sama sih. Di Parahyangan juga iya. Cuma saya gak mau ikutan ke jalan. Capek, soalnya tadi baru abis nelusurin sungai. Kalau ditanya soal bahagia, senang, atau kebenaran, memangnya saya bisa jawab? Saya mah cuma orang biasa dan gak tahu. Harusnya Pak Sokrates nanyanya sama filsuf.”

Sokrates: “Di sini mah adanya Plato aja. Itu juga masih ngawang-ngawang karena masih muda. Kalau di sana ada gak?”

Kabayan: “Di sini ya? Setahu saya sih gak ada. Yang ada cuma pandhita doang. Kalau gak salah, namanya Bujangga Manik.”

Sokrates: “Memang kalau pandhita Bujangga Manik gimana ngejawabnya Kang?”

Kabayan: “Duh, Bujangga Manik mah mana tahu artinya senang atau bahagia kalau kata saya. Itu juga karena saya cuma dengar aja dan gak pernah ketemu. Soalnya dia mah juga gak pernah nikah. Nyari kebenaran terus. Gak tahu yang dicari yang kayak gimana benernya.”

Sokrates: “Memang benar itu susah kok. Saya kejar terus di sini dan tanya ke orang-orang yang saya temui juga gak dapat. Pada bingung ujung-ujungnya. Kata Protagoras, kebenaran itu ukurannya manusia. Kalau manusia ukurannya, ya macam-macam jadinya. Kata Meno begini, kata Miletus begitu.”

Kabayan: “Jadi, manusia itu ukurannya ya? Memangnya ngukur sampai mana Pak?”

Sokrates: “Nah itu, gak tahu juga ngukurnya juga sampai mana. Namanya pikiran bisa kemana-mana.”

Kabayan: “Gini aja deh Pak. Saya ini kan baru aja nangkap ikan dari sungai. Kita sambil bakar ikan dulu ya? Soalnya dah lapar dari tadi ngobrol terus.”

Sokrates: “Ah Akang tuh. Memang dah lama ya kita ngobrol? Tapi boleh tuh kalau bakar ikan. Di rumah saya jarang makan ikan. Abis istri saya lebih sering keluar bantu orang melahirkan.”

Kabayan: “Pak Sokrates memang gak bisa nangkap ikan? Keluyuran terus sih ke pasar dan kebanyakan ngobrol.”

Sokrates: “Gak, saya gak ada bakatnya kerja begituan.”

Kabayan: “Wah, saya gak bisa begitu kalau di sini. Tidur aja kadang suka disentak Mertua. Padahal, kan dah nyari makan, tapi gak dapat. Karena lemas, ya ditidurin aja. Toh masih ada beras sama genjer hasil kemarin bantu panen padi tetangga. Eh, ikannya dah matang nih Pak Sokrates. Makan yuk!”

Sokrates: “Wah, kelihatannya enak nih Kang. Pinter juga Akang masaknya.”

Kabayan: “Oya, saya jadi ingat. Yang saya tahu cuma cara membakar ikan dengan benar. Bukan kebenaran seperti yang dicari sama Pak Sokrates atau Bujangga Manik. Kalau ikannya dibiarkan terlalu lama bakarnya, ya gosong. Kalau terlalu cepat angkatnya, ya masih lengket sama tulangnya dan amis banget rasanya. Jadi, ya gitu yang saya tahu.”

Sokrates: “Oh, jadi kebenaran itu bergantung pada peristiwa dan waktu ya kalau begitu?”

Kabayan: “Lah Pak Sokrates, saya kan cuma bilang tahunya ikan dibakar dengan benar. Bukan yang lain-lain. Kalau itu mah saya gak tahu.”

Gubrak. Suara kucing berantem terdengar dengan keras. Kabayan terkaget-kaget dan langsung mencari sisa ikan bakarnya. Ia takut ikan bakarnya diambil sama kucing. Meskipun dicari ke sana ke mari, ternyata ikan bakar itu nihil tak ketemu. Ia lalu memanggil istrinya, Iteung. Ditanyakannya sama Iteung, “Mana ikan bakar yang Akang buat barusan?” Iteung bilang kalau Kang Kabayan dari tadi juga tidur. “Ikan bakar dari langit,” kata Iteung menggerutu. Oh, ternyata Kabayan hanya mimpi ketemu Sokrates dan makan ikan bakar rupanya.

Heup ah (Cukup ah).

Depok, 14 Oktober 2020.


Image by Pixabay from Pexels