Ketika mendengar judul di atas, mungkin anda akan bertanya-tanya, akan seperti apakah tulisan tersebut. Apakah ia akan berupa sejarah naratif tentang segelintir tokoh, atau akan berisi tulisan yang terdiri dari banyak artikel dari beberapa orang mengenai subjek pemikiran tertentu seperti yang terkumpulkan dalam buku 1000 Tahun Nusantara (Kompas, 2000), atau yang gimana lagi. Ini bukan sesuatu yang mudah memang jika hanya dibayangkan. Namun begitu, menurut hemat saya, merealisasikannya hingga berwujud adalah pekerjaan yang memerlukan kesabaran, tenaga, pula materi yang berlebih.
Nusantara, seperti telah kita ketahui bersama, adalah tempat di mana banyak etnis tumbuh atau berlabuh. Ia adalah rumah besar untuk ratusan bahasa, kesenian, hingga pernik budaya yang khas dan unik. Menariknya, meski berbeda-beda, ada satu ikatan halus yang dapat merajutnya jadi satu. Ini baru dimulai dalam masa Hindia Belanda ketika raja dan kerajaan di seluruh wilayah Nusantara mulai goyah dan runtuh akibat kolonisasi oleh Portugis, Belanda, dan Inggris. Ya, masa ini mengantarkan segenap orang yang mendiami Nusantara untuk “bersatu” bersama-sama melawan penjajah setelah mereka sering berulang kali bertengkar hatta bertempur memperebutkan tanah-tanah Nusantara.
Lepas dari masa penjajahan tersebut, kita dipersatukan oleh pemimpin yang cukup kuat dan kharismatik, Soekarno dan Mohammad Hatta. Satu yang pertama adalah orator ulung nan visioner, sementara yang kedua adalah arsitek kenegaraan yang hati-hati dan bijak. Berikutnya, Soeharto, mempersatukan dan mempertahankan Nusantara cukup lama dengan “tangan besi”, stabilitas ekonomi-politik, serta menerapkan strategi yang berjenjang. Itu pun tidak bertahan karena kita memang ingin “perbedaan” itu diakui. Hasrat ini mengemuka dalam masa reformasi, baik saat dipimpin oleh Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, juga masih dalam komando Susilo Bambang Yudhoyono.
Hingga hari ini, kita belum menemukan apa yang tepat untuk kita sepakati bersama, tentang pola bernegara, tentang bagaimana hidup dan kehidupan masyarakat sebaiknya, atau sekadar kriteria pilihan tentang pemimpin yang baik. Nusantara dan masyarakat yang berdiam di dalamnya masih berproses setelah menerima pengaruh dari Hindu, Buddha, Islam, hingga Barat. Perjalanan itu tentunya telah menghasilkan rekam jejak yang dapat kita pelajari dengan seksama. Apa yang telah dipikirkan oleh pendahulu-pendahulu kita tentang dan untuk Nusantara dengan segala varian nilainya akan menjadi harta yang berharga kalau dapat dibuat satu jalinan yang menghubungkan semuanya.
Pada konteks ini, kita, khususnya saya pribadi, merasa beruntung dengan kerja-kerja para sejarawan yang mencurahkan hampir semuanya untuk mewujudkan karya-karya mereka. Meskipun begitu, karya sejarah yang saya maksud memang belum ada. Belum ada yang sanggup mencurahkan untuk apa yang saya maksud. Dari pencarian buku maupun artikel yang membahas tema-tema mendekati, apa yang telah orang hasilkan sebagai bagian yang membangun Nusantara masih berserak menunggu waktu untuk terkumpul dalam satu rangkaian.
Apabila waktu mengizinkan, saya tak hendak surut dari panggilan merajut bhinneka kekaryaan Nusantara pada sesuatu yang manunggal. Masih banyak pustaka yang perlu saya cari dan kumpulkan. Saya juga tak sanggup bekerja sendiri. Terima kasih yang terutama untuk dukungan dan pengertiannya pada istriku dan keluarga, serta terima kasih buat teman-teman yang sudah memungkinkan saya mendapatkan apa yang saya perlukan dalam panggilan ini.
Di suatu sore, Depok, Jawa Barat.
Image by AnglesNViews from Pixabay