Kecerdasan Buatan sebagai Piranti Pemprosesan Administrasi Akademik di Indonesia: Disrupsi Pekerjaan atau Pemudahan Proses?

Problem Administrasi Akademik di Indonesia

Pencatatan administrasi akademik di Indonesia bukanlah perkara yang mudah untuk dilaksanakan. Meskipun ini terlihat sederhana, seperti misalnya melaporkan kegiatan seminar atau workshop ilmiah bidang tertentu yang diikuti oleh seorang akademisi, prosesnya cukup panjang dan meliputi beberapa elemen administrasi tertentu. Pertama, akademisi ini perlu mendaftar pada pihak penyelenggara acara seminar atau workshop tersebut dan diterima sebagai peserta. Proses pertama ini membutuhkan isian formulir registrasi yang akan ditindaklanjuti dengan surat undangan kegiatan seminar atau workshop yang dikirimkan kepada akademisi tersebut. Kedua, untuk masuk dalam tahap berikutnya, ia membutuhkan penerbitan surat tugas yang dibuatkan oleh pihak berwenang. Fungsi surat tugas ini adalah untuk memberi legitimasi pada akademisi tersebut bahwa ia akan berlaku sebagai perwakilan yang sah dari institusinya. Surat tugas akan dilengkapi surat perjalanan dinas ketika acara kegiatan berlangsung di luar kota. Ketiga, setelah surat tugas didapatkan, akademisi ini perlu membuktikan bahwa ia hadir dan mengikuti kegiatan seminar atau workshop tersebut. Ini dicatat dalam daftar kehadiran, dokumentasi kegiatan, dan pemberian sertifikat dari sisi panitia penyelenggara. Jika pihak penyelenggara tidak menerbitkan sertifikat, maka akademisi ini hanya punya bukti dokumentasi kegiatan saja yang ia perlu lakukan secara mandiri. Di sisi lain, jika akademisi tersebut memiliki surat perjalanan dinas, maka bukti kehadirannya akan diberikan dalam formulir perjalanan dinas yang perlu ditandatangani oleh wakil pihak penyelenggara.

Gambaran di atas adalah sekelumit proses yang dapat kita cermati tentang pencatatan administrasi akademik di Indonesia. Namun demikian, apakah prosesnya akan berhenti pada proses terakhir? Jawabannya adalah tidak. Administrasi akademik di Indonesia masih membutuhkan pelaporan khusus yang ditetapkan institusi terkait. Dalam konteks ini, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, adalah institusi yang berwenang untuk mengatur administrasi akademik tersebut. Mereka menetapkan beberapa sistem yang akan mencatat semua soal administrasi akademik. Dirjen Dikti memiliki aplikasi Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT) yang menggantikan program Evaluasi Program Studi berbasis Evaluasi Diri (EPSBED), aplikasi Penilaian Angka Kredit (PAK) dan Jabatan Akademik Dosen (JAD) yang menggantikan isian manual penilaian jabatan akademik, serta aplikasi Sistem Informasi Sumberdaya Terintegrasi (SISTER) yang menggantikan aplikasi Beban Kerja Dosen (BKD) yang digunakan untuk penilaian kinerja Dosen Bersertifikasi.

Pada aplikasi pertama, PDPT, sistemnya ini mencatat semua kegiatan pengajaran berbasis mata kuliah. Dosen mengampu mata kuliah apa, hal itu akan tercatat di sini. Yang memasukkan data untuk ini biasanya adalah tenaga kependidikan (tendik) bidang akademik. Dalam konteks pendidikan tinggi, tendik akan mengadministrasikan data jumlah pertemuan, jumlah kehadiran dosen dan mahasiswa, rekapitulasi penilaian (tugas, ujian tengah, hingga ujian akhir), jumlah satuan kredit semester (sks) mata kuliah, jumlah pengajar berikut namanya dalam formasi tim pengajar, dan berapa jumlah mata kuliah yang diselenggarakan beserta konversi sks-nya.

Beranjak pada aplikasi PAK/JAD, dosen akan diminta terlebih dahulu mengisi formulir digital jabatan akademik yang terdiri dari komponen Pendidikan, Penelitian, Pengabdian, serta Penunjang. Data komponen Pendidikan berisi data sub komponen Pengajaran, Bimbingan Mahasiswa, Pengujian Mahasiswa, Visiting Scientist, Pembinaan Mahasiswa, Bahan Ajar, Detasering, Orasi Ilmiah, Pembimbing Dosen, dan Tugas Tambahan. Komponen Penelitian akan terdiri dari sub komponen Penelitian, Publikasi Karya, dan Paten/Hak Karya Intelektual. Pada komponen Pengabdian, hal ini terdiri dari sub komponen Pengabdian, Pengelola Jurnal, Pembicara, dan Jabatan Struktural. Untuk Komponen yang terakhir, Penunjang, hal ini dibagi dalam sub komponen Anggota Profesi, Penghargaan, dan Penunjang Lain (lihat Pedoman Operasional Perhitungan Angka Kredit Kenaikan Jabatan Akademik/Pangkat Dosen (PO-PAK) yang diterbitkan pada 16 Oktober 2019 oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya IPTEK dan Dikti, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi).

Sementara itu, dalam sistem SISTER, isian yang sama soal PAK/JAD dapat ditemui pula. Namun demikian, ada data lainnya yang perlu dilengkapi, seperti komponen Kualifikasi, Kompetensi, Reward, dan Layanan Sertifikasi Dosen (Serdos). Di dalam SISTER, layanan PAK/JAD jadi satu dengan BKD. Dengan adanya isian serupa ini, sebenarnya kita dapat melihat bahwa PAK/JAD akan terintegrasi sepenuhnya dengan BKD yang menjadi dasar bagi penilaian kinerja dosen. Namun demikian, untuk konteks sekarang ini, layanan PAK/JAD belum diaktifikan dan masih menggunakan ajuan yang dikoordinasi oleh perguruan tinggi masing-masing dan tidak langsung diambil dari data SISTER yang diisi mandiri oleh Dosen. Akibatnya, Dosen harus mengisi data dua kali. Isian pertama berkaitan dengan formulir PAK/JAD (yang bisa manual atau digital, tergantung pada perguruan tinggi masing-masing) dan isian kedua yang berkenaan dengan data SISTER.

Isian data yang ganda ini seringkali membuat Dosen kelimpungan karena kegiatan akademik yang diikutinya cukup banyak. Belum lagi, isian administrasi akademik tersebut memakan waktu yang cukup lama mengingat ada proses pengkategorian secara manual dan mandiri. Misalnya, hal ini terdapat dalam kegiatan Dosen sebagai pembicara di forum ilmiah. Kegiatan tersebut dapat memiliki dua tafsir karena ini dapat diinput dalam komponen Pendidikan atau juga pada komponen Penunjang. Seringkali nantinya terdapat perbedaan persepsi antara Dosen sebagai pemasok data dengan Asesor sebagai penilai angka kredit dalam kategorisasi datanya ini.

Problem lainnya adalah apabila Dosen mengikuti kegiatan akademik tertentu yang dilakukan secara mandiri, baik dari segi biaya maupun dari segi keikutsertaannya, Dosen seringkali kesulitan memasukkan data yang hanya terdiri dari sertifikat kegiatan saja. Isian data di SISTER, misalnya, mewajibkan Dosen memasukkan surat tugas untuk kegiatan tersebut tanpa kompromi. Sehubungan dengan soal ini, proses pembuatan surat tugas juga sebenarnya berjenjang sesuai jenis birokrasi akademik atau standard operating procedure (SOP) yang dipakai di masing-masing perguruan tinggi. Ada yang cukup dikeluarkan oleh Ketua Program Studi, ada yang memerlukan surat tugas dari Dekan/Wakil Dekan, atau ada yang membutuhkan surat tugas dari Rektor/Wakil Rektor. Jika birokrasi akademik atau SOP-nya memiliki hierakhi yang tinggi dan memakan waktu berhari-hari, ini akan membuat Dosen kesulitan mengikuti kegiatan akademik yang diinginkannya. Misalnya saja ada Dosen yang tiba-tiba menemukan kesempatan mengikuti seminar penting dalam topik risetnya melalui iklan di media sosial dan hanya berselang dua atau tiga hari atau malah satu hari kesempatannya mendaftar, maka sudah tentu kalau ia mengurus surat tugas terlebih dahulu kesempatan tersebut akan hilang. Selain itu, ada beberapa Dosen yang tidak dapat menemukan data sub komponen Pengajaran atau sub komponen Pengujian Mahasiswa. Dalam hal yang terakhir ini, oleh karena Dosen tidak dapat memasukkannya secara mandiri, data tersebut sangat bergantung pada kecepatan dan ketepatan tendik bidang akademik untuk memasukkannya.

Demikian, memerhatikan beberapa problem administrasi akademik di atas, penulis menjadi tertarik untuk mencari solusi yang sesuai. Solusi ini juga sebaiknya mempertimbangkan masalah-masalah administrasi akademik lainnya yang belum tersebut dalam paparan di atas. Dalam konteks ini, kemungkinan solusi yang menarik dapat menggunakan teknologi Kecerdasan Buatan (Artifiicial Intelligence atau AI) terkini yang disebut dengan Generative AI. Bagaimana kemungkinannya hal ini akan dapat diterapkan dalam konteks administrasi akademik akan penulis coba uraikan di bagian berikutnya.

Kecerdasan Buatan sebagai Alternatif Pemprosesan Administrasi Akademik dan Tantangannya

Dalam teknologi informasi yang terkini, Kecerdasan Buatan telah memasuki tahap baru dalam rekayasa teknologinya. Ini ditandai dengan hadirnya Generative AI dalam kancah aplikasi Kecerdasan Buatan. Ia hadir dengan bantuan penemuan kerangka kerja Foundation Models sebagai cara baru mengelola Pembelajaran Mesin (Machine Learning). Penemuan tersebut berasal dari Stanford University’s Centre for Research on Foundation Models (Deloitte AI Institute. 2023. A New Frontier in Artifcial Intelligence: Implications of Generative AI for Businesses, pp. 5-7). Dengan berbasis pada kerangka kerja tersebut, Generative AI pun berkembang menjadi sesuatu yang meluas penggunaannya di tahun 2022. Ini dapat ditemui pada GPT-3 yang menjadi otak dari aplikasi ChatGPT yang dikembangkan oleh OpenAI.

Foundation Models itu sendiri terdiri dari empat tahapan pengembangan. Dalam tahap awal, pengembang perlu membangun arsitektur serupa apa yang dapat memfasilitasi model yang akan digunakan beserta algoritma yang dibutuhkan untuk menangani proses yang dikehendaki. Ketika kedua hal ini telah dibangun dengan baik, arsitektur tersebut akan memungkinkan aplikasi Kecerdasan Buatan menggunakannya melalui metode Pembelajaran Mesin yang sesuai. Pada tahap kedua, proses Pembelajaran Mesin dimulai secara ektensif dengan mengolah data besar yang berhubungan untuk dapat mengidentifikasi sejumlah parameter yang cocok dengan pola yang sudah ditentukan. Proses ini sekaligus jadi ajang pengujian apakah pola yang sudah ditentukan sudah memadai atau belum untuk mengolah data besar tersebut sehingga kita mendapat parameter model yang baik. Di tahap ketiga, model dan algoritma yang sudah dibuat perlu direvisi berdasarkan pada himpunan data (dataset) yang belum tercakup. Ini dibutuhkan untuk mengatasi persoalan ketidaksesuaian atau kecocokan minimal dalam parameter model yang dapat ditoleransi. Ibaratnya, aplikasi Kecerdasan Buatan nantinya akan dapat “menginterpretasikan” data yang dimasukkan tersebut akan sesuai pada kategori apa berdasarkan pada pola yang sudah ditentukan secara mandiri. Memasuki tahap terakhir, ketika model sudah dilatih berjuta atau bermilyar kali dengan data besar tersebut dan memiliki parameter model yang mencukupi untuk menanganinya, maka aplikasi Kecerdasan Buatan siap untuk diluncurkan dan digunakan via Application Programming Interface (API). API ini akan menjadi jembatan dari aplikasi berbasis web atau mobile untuk dapat mengakses Foundation Models tersebut. Proses ini digambarkan oleh Deloitte AI Institute dalam bagan berikut.

Apa yang disampaikan di atas menunjukkan bahwa setiap proses dapat kita olah melalui Generative AI ini. Kalau prosesnya dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan ukuran waktu, semisal: (a) proses terjadinya sesuatu (masa lalu), (b) proses berlangsungnya sesuatu (masa sekarang), dan (c) proses yang mungkin untuk sesuatu (masa yang akan datang), maka kita akan mendapatkan luaran yang biasa melalui Generative AI ini. Semua kategori proses tersebut sebenarnya sudah ada dalam keempat tahapan pengembangan Foundation Models di atas. Dalam konteks ini, penulis hanya memperjelas saja karena ini nanti akan berguna dalam aplikasi yang bersifat khusus, semisal untuk keperluan administrasi akademik di Indonesia yang sudah disampaikan sebelumnya. Lalu, bagaimana Generative AI ini akan dapat diterapkan dalam soal administrasi akademik di Indonesia?

Secara umum, kalau melihat bahwa Generative AI dapat digunakan untuk mengolah semua proses, maka hal ini akan dapat diterapkan pula untuk mengelola administrasi akademik di Indonesia. Namun demikian, kita perlu mencermati dulu aspek-aspek penting yang akan muncul dalam konteks penerapannya. Pada aspek yang pertama, hal tersebut perlu dimulai dari inisiatif Perguruan Tinggi atau Dirjen Dikti selaku pihak yang berwenang. Tanpa adanya inisiatif ini, kita tidak akan beranjak dari soal administrasi akademik yang berbasis pada teknologi non-AI. Kalaupun ada inisiatif dari kedua pihak ini, lobi panjang yang berkaitan dengan penerimaan penerapannya akan menghadapi tantangan yang kuat terutama dari Perguruan Tinggi yang menolak. Salah paham dan miskomunikasi akan mewarnai inisiatif penerapan Generative AI dalam administrasi akademik di Indonesia. Hal-hal serupa inilah yang dapat terjadi dalam konteks inisiasi penerapan Generative AI dalam administrasi akademik di Indonesia.

Aspek penting yang kedua adalah kita perlu memerhatikan konsekuensi dari penerapan Generative AI dalam proses administrasi akademik di Indonesia. Ini akan meliputi juga soal disrupsi dalam pekerjaan administrasi akademik. Dengan hadirnya penerapan Generative AI dalam proses administrasi akademik di Indonesia, hal ini dapat saja mengurangi tendik bidang Akademik dan Sumber Daya Manusia (SDM) hingga 60% dari jumlah yang sekarang ada. Angka 60% ini merupakan prediksi jika rerata tendik Akademik atau SDM berjumlah 3 orang untuk masing-masingnya dan akan menjadi 1 orang tendik per bidangnya sesudah Generative AI diterapkan. Tendik bidang SDM akan terdampak pula karena urusan pembuatan surat tugas, rekapitulasi PAK/JAD, beserta tugas administratif lain yang berhubungan dengan Dosen akan dapat direduksi secara besar-besaran. Dalam aspek kedua ini, apa yang disampaikan baru asumsi saja mengingat jumlah tendik per bidang bervariasi untuk masing-masing Program Studi.

Aspek ketiga yang perlu diperhatikan adalah berhubungan dengan soal teknis. Hal ini akan meliputi infrastruktur, sistem, dan sosialiasi yang perlu disiapkan untuk penerapan Generative AI dalam administrasi akademik di Indonesia. Sebagaimana tampak dalam tahapan pengembangan Foundation Models yang sudah dijelaskan di awal, urusan infrastruktur berarti akan mengandaikan piranti keras, jaringan, dan koneksi yang memadai mengingat jumlah data yang ditangani akan besar sekali. Dalam hal piranti lunaknya ini, Foundation Models yang dibuat pun akan bersifat spesifik sesuai konteks administrasi akademik di Indonesia. Akan lebih baik sebenarnya jika Foundation Models yang dibuat lebih dahulu adalah Foundation Models yang dapat menangani administrasi Pendidikan Tinggi di Indonesia secara umum. Setelah itu, apa yang dikembangkan adalah Foundation Models turunannya, baik untuk mengelola administrasi akademik maupun administrasi lainnya yang diperlukan. Jika Foundation Models-nya sudah siap, maka sosialisasi sistemnya akan lebih mudah karena Generative AI akan mereduksi banyak fitur pemasukan data. Bagi yang sudah berpengalaman menggunakan ChatGPT atau aplikasi Generative AI lainnya, hal ini sudah dapat terbayangkan. Dalam konteks teknis, problem yang terutama akan muncul adalah dalam penerapannya pada administrasi akademik di Indonesia adalah pada soal penyediaan piranti keras yang memadai dan Foundation Models yang sesuai. Terlebih jika dalam proses pengadaannya pada tingkat kementerian, pemenang lelang tidak dapat mengerjakannya dengan baik dan hanya asal selesai.

Ilustrasi Imajinatif Pemprosesan Administrasi Akademik via Kecerdasan Buatan dan Manfaatnya

Sehubungan dengan pembahasan dalam bagian sebelumnya, ada pertanyaan-pertanyaan yang dapat kita munculkan untuk soal ini. Pertama adalah kenapa solusi masalah administrasi akademik ini harus menggunakan Generative AI? Kedua, apa manfaatnya bagi kita? Ketiga, apakah pengorbanan hilangnya tendik sebesar 60% sebagaimana diasumsikan akan sepadan dengan manfaat yang didapatkan? Pertanyaan-pertanyaan ini tentu saja tidak mudah dijawab. Namun, dalam paragraf-paragraf selanjutnya, kita akan coba upayakan jawabannya.

Dalam kaitannya dengan pertanyaan pertama, hal ini berhubungan langsung dengan pertanyaan kedua. Untuk menjawab dua pertanyaan ini sekaligus, penulis akan meminjam ilustrasi yang tersampaikan oleh Chief Executive Officer (CEO) Google, Sundar Pichai, dalam Google I/O 2023 yang lalu. Ia mempresentasikan bagaimana Google telah mengetengahkan perubahan besar dalam inovasi fitur yang ada di Gmail dengan bantuan Generative AI. Pengguna Gmail dapat memerintahkan Gmail untuk menulis balasan surel secara otomatis tanpa menggunakan konsep dari pengguna. Ia dapat dibuat berdasarkan konteks surel yang hendak dibalas dan itu berlangsung dalam hitungan kurang dari satu menit. Kalau tidak puas dengan hasilnya, maka pengguna Gmail dapat memerintahkan Gmail untuk merevisinya untuk mendapatkan draft surel yang lebih baik. Berdasarkan metode ini, kita akan diberi kemudahan yang luar biasa tanpa harus susah payah mengetik balasan surel yang baik. Bagi kita yang berhubungan dengan perusahaan asing, kita juga dapat dibantu untuk menuliskannya dalam bahasa asing yang sesuai. Artinya, proses menuangkan konsep surel dan penerjemahannya dapat dilakukan sekaligus dengan bantuan Generative AI tersebut dalam hitungan di bawah 1 menit.

Berdasarkan ilustrasi yang penulis pinjam dari apa yang disampaikan oleh Pichai, maka penulis dapat memberi gambaran jawaban atas pertanyaan pertama dan kedua untuk soal administrasi akademik yang disampaikan pada awal bagian pembahasan ini. Dalam konteks ini, penulis tampilkan 1 rekam tayang (screenshot) dari aplikasi SISTER untuk pemasukan data sebagai pembicara yang memberikan orasi ilmiah. Rekam tayangnya ini dapat dilihat sebagai berikut.

Jika melihat tampilan rekam tayang tersebut, kita perlu memilih beberapa kategori yang sesuai dan mengisikan data secara mandiri nomor surat tugas dan isian lainnya, termasuk bukti dokumen yang terkait. Dalam kaitannya dengan formulir digital ini, tentu usaha Dosen untuk mengisinya akan menjadi sesuatu yang memakan waktu. Dosen muda yang baru berkarir mungkin tidak akan banyak mengisi data tersebut. Namun, kita dapat membayangkan bagaimana Profesor akan mengisi data ini jika ia diundang oleh berbagai insitusi sejumlah ratusan kali selama periode 1 semester. Meskipun Profesor ini akan memiliki asisten yang dapat membantu, tetap saja isiannya akan memakan waktu yang banyak.

Lalu, kita bayangkan lagi kalau formulir digital SISTER ini hanya berisi 1 isian data saja, yaitu bukti dokumen digital untuk orasi ilmiahnya dalam bentuk sertifikat digital. Generative AI akan membantu proses identifikasi data secara mandiri apa saja yang ada dalam sertifikat digital tersebut melalui bantuan penerapan Optical Character Recognition (OCR) yang dimiliki sistemnya dan memilahnya dalam jenis data yang sudah dikategorisasi sebelumnya. Jika ini yang terjadi, ada banyak hal yang dapat kita ambil manfaatnya. Pertama, proses isian data yang bisa memakan waktu 1-2 menit akan terpotong banyak hingga kurang dari 1 menit. Kedua, waktu yang sedianya diperlukan untuk pemasukan data akan dapat dialokasikan kepada kegiatan lainnya yang lebih urgen, seperti misalnya menelaah skripsi, tesis, atau disertasi mahasiswa atau mengejar deadline penulisan jurnal ilmiah internasional bereputasi. Ketiga, jumlah asesor yang dibutuhkan untuk mengecek PAK/JAD menjadi lebih berkurang karena Generative AI akan dapat membantu rekapitulasi hasilnya secara otomatis. Hal ini akan membantu ketersedian jumlah asesor yang ideal dengan ajuan borang PAK/JAD yang ada. Kelima, aktivitas akademik Dosen yang banyak itu tidak terkendala dalam proses administrasi akademiknya sehingga Dosen bisa lebih fokus pada kinerja akademiknya. Keenam, Generative AI pada sistem akademik Perguruan Tinggi boleh jadi akan mempercepat dan mempermudah proses pekerjaan para tendik bagian Akademik dan SDM sehingga mereka tidak akan memproses berkasnya terlalu lama. Bayangkan di sisi ini bahwa tendik Akademik dan SDM akan dapat membuat surat tugas secara otomatis dengan bantuan Generative AI berdasarkan pada data ajuan Dosen.

Keenam manfaat tersebut boleh jadi tidak akan sepadan dengan harus hilangnya pekerjaan tendik sebesar 60% sebagaimana diasumsikan pada pandangan sebagian orang. Terhadap soal ini, penulis dapat berkata sepakat di satu sisi tetapi tidak di sisi lain. Adanya penggunaan Generative AI dalam administrasi akademik di Indonesia tentu akan menghapus lapangan pekerjaan tendik yang berhubungan dengan ini. Namun demikian, kita sebenarnya dapat mengalokasikan jenis pekerjaan lain yang sesuai untuk tendik tersebut seandainya ada kebijakan perguruan tinggi yang masih mau mempertahankan mereka. Misalnya, kita dapat mengalihkan mereka dalam pekerjaan digitalisasi arsip fisik yang diperlukan untuk membangun basis data bagai Foundation Models tersebut. Artinya, kalaupun ada penghilangan pekerjaan tertentu, kita masih dapat mentransformasikan pekerjaan tertentu tersebut pada pekerjaan lain yang lebih sesuai dengan perkembangan teknologi terkini.

Apa yang disampaikan di atas baru merupakan gagasan semata dan boleh jadi masih membutuhkan waktu untuk terwujud. Namun demikian, manakala hal ini telah terealisasi dengan baik, kita perlu beradaptasi sepenuhnya. Penulis tidak berada di ruang kosong saat membayangkan ini terjadi. Di satu sisi, ada masalah besar yang dirasakan oleh banyak Dosen di Indonesia dalam hal administrasi akademiknya yang memerlukan penyelesaian. Di sisi lainnya, ada perkembangan teknologi Kecerdasan Buatan yang mungkin dapat menjadi solusi untuk persoalan administratif sebagaimana ditunjukkan oleh Google melalui inovasi fitur Generative AI dalam Gmail. Dialektika dalam soal inilah yang penulis tangkap sebagai kemungkinan solusi untuk menyelesaikan problem administrasi akademik di Indonesia.

 

Kota Bogor, 30 Februari 2023