Kang Ajip, Capung Biru, dan Perjalanan Hinayu Buana

I. Membaca Sedikit dari Kang Ajip dan Benihnya untuk Masa Depan

Ketika sedang berselancar di Facebook di tanggal 28 Juli lalu, saya melihat ada teman membagikan status tentang Kang Ajip yang sedang dirawat. Sebenarnya, saya tidak suka jika melihat status seperti ini karena kurang etis rasanya memperlihatkan orang dengan selang di hidung atau terbaring lemah tak berdaya dengan selang infusan di tangan. Walaupun beliau ini sakit, tak perlulah sejelas itu fotonya. Namun demikian, saya sekaligus menyadari kalau beliau ini tak lama akan pergi. Esok harinya, ternyata benar, beliau telah berpulang ke alam kalanggengan.

Saya tak tahu benar beliau ini karena saya memang tidak intens dengan karya-karyanya, juga tak pernah ada kesempatan berjumpa. Yang ada, saya mengetahui beliau dari tulisannya yang berjudul Manusia Sunda (Inti Idayu Press, 1984). Buku ini adalah satu rangkaian yang menarik bila disandingkan dengan torehan Mochtar Lubis dalam judul Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungan Jawab (Idayu Press, 1977) dan karangan Marbangun Hardjowirogo dengan judul Manusia Jawa (Yayasan Idayu, 1983). Serangkai buku ini menjadi usaha fundamental ketiganya dalam merumuskan siapa dirinya dan identifikasi pada kelompoknya. Meski demikian, pada Mochtar, hal ini ditarik pada sesuatu yang lebih umum dan lebih luas.

Dalam hal Manusia Sunda, Kang Ajip memperlihatkan pengetahuannya yang luas tentang Sunda. Ia mencoba mengidentifikasi siapa Manusia Sunda dengan nama-nama yang telah dikenal dalam Sastra Lama, Sastra Baru, dan Sejarah. Dalam bukunya ini, perhatian saya yang terutama tertuju pada tokoh yang bernama Kabayan. Bukannya yang lain tidak penting, namun Kabayan adalah tokoh yang sangat unik. Ia menampilkan wajah paradoks dari manusia Sunda. Identifikasi serupa ini juga telah dilakukan oleh Jakob Sumardjo dalam bukunya yang berjudul Paradoks Cerita-Cerita Si Kabayan (Kelir, 2008). Atas karakternya yang paradoksal, sebenarnya menarik jika tokoh Kabayan coba didialogkan dengan tokoh Sokrates. Bila ada, dialognya akan menjadi eksperimen paling eksentrik dalam interaksi dua budaya yang berbeda. Antara Yunani Kuna yang mewakili peradaban Eropa dan Sunda (Kuna) yang mewakili peradaban Nusantara.

Selain soal Kabayan, urusan Sunda ini juga sangat menarik bagi saya sejak diperkenalkan oleh Kang Ajip dalam bukunya tersebut. Ia memantik rasa identitas diri. Dalam masa perkuliahan saya di Filsafat UGM sekira 1996-1998, saya pun berburu buku-buku Sunda yang saat itu sulit untuk ditemui di toko buku. Akhirnya, saya menemukan referensi menarik lainnya dari Saleh Danasasmita, dkk. yang mengulas tiga naskah Sunda Kuna terpenting, yaitu Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, dan Amanat Galunggung (Direktorat Jenderal Kebudayaan Depdikbud, 1987) sebagai bagian dari kerja Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Meskipun begitu, antusiasme atas Sunda menjadi luput setelahnya karena saya lebih tertarik dengan soal-soal “masa depan” (futuristik) dengan memilih tema Dunia Siber dalam skripsi.

Bayang soal Kesundaan kembali menjelang ketika saya sedang berada di loket tiket bis Budiman, Kota Tasikmalaya, pada tanggal 18 Februari 2020. Di malam itu, entah kenapa, tiba-tiba di pikiran berkecamuk soal bagaimana nyucruk galur (menelusuri jalur) Amanat Galunggung dalam konteks masa kini dan masa depan. Hal ini semakin intens muncul ketika COVID-19 melanda negeri. Dengan jeda selama 3 bulan, saya merasa semakin dekat dengan soal-soal Sunda Kuna. Sesuatu yang asing, tetapi tidak begitu jauh dari saya. Kali ini, saya mempelajarinya dalam kondisi perasaan runtuh karena COVID-19 telah memporakporandakan bangunan keilmuan yang saya pelajari selama ini. Ternyata, mempelajari Dunia Siber dengan segala tetek bengeknya, menjajagi kemungkinan DNA sebagai media komputasi, atau membayangkan bagaimana manusia akan tertala (enhanced) dengan lima teknologi terkini di bidang medis, semuanya menjadi tidak cukup. Ada sesuatu yang tak nampak dalam pantauan saya selama ini. Bahkan, saya yang mempelajari biologi molekuler pun tak dapat memahami fenomena COVID-19. Saya perlu membangun fondasi yang lebih kokoh dan ternyata Sunda Kuna sangat mungkin akan menjadi fondasi terdekat saya. Melihat dunia dengan fondasi yang lebih kokoh tentu akan lebih menyenangkan.

Limitasi ini membawa berkahnya sendiri. Saya menjadi tersadar kalau kehidupan masa depan pasca COVID-19 membutuhkan sesuatu yang baru. Peluang ini pun saya temukan saat mempelajari Sunda Kuna. Saya menjadi bersemangat untuk segera mewujudkannya. Meskipun masih remang-remang saat ini, dialog antara Kekunaan dan Kekinian akan menjadi sesuatu yang diperlukan. Dalam konteks ini, apa yang sedikit dari Kang Ajip menjadi pacuan berharga untuk saya. Terima kasih untuk itu dan semoga damai di buana kalanggengan. _/|\_

II. Capung Biru dan Harapan atas Lingkungan yang Lebih Bersih

Di hari yang sama saat Kang Ajip meninggal, saya melihat sesuatu yang membuat saya terpana. Saat itu, saya sedang rehat dari bermain lempar bola pingpong dengan si kecil. Ketika melihat jendela, Capung Biru kecil tampak hinggap di sebuah batu pada halaman depan yang mengering. Ini fenomena kedua kalinya, ketika dua bulan yang lalu, istri saya juga melihat Capung Jarum sedang terbang dekat tanaman hias. Lalu, apa yang menarik dari dua hal yang terpisah tetapi boleh jadi ada sinkronisitasnya ini?

Ketika mencoba memahami soal ini dan menuliskannya, saya jadi teringat tema Capung dan polusi. Tentu saja saya segera googling untuk mencari tahu. Ada satu artikel yang menarik untuk soal tersebut. Wakhid, dkk. dari Universitas Sam Ratulangi menuliskan artikelnya dengan judul “Kelimpahan Populasi Capung Jarum (Zygoptera) di Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara.” Artikel tersebut menelaah bagaimana Capung Jarum dapat menjadi indikator pencemaran lingkungan (bioindikator). Maksudnya, ketika Capung Jarum cukup banyak ditemui di satu lingkungan tertentu, maka boleh dipastikan kalau lingkungan ini cukup bersih atau tak tercemar. Ini karena kalau lingkungan tercemar, siklus hidup Capung Jarum akan terganggu (Jurnal Bios Logos, Vol. 4, No. 2, 2014, hal. 42).

Membaca keterangan ini seperti terberi semangat yang baru. Ini adalah harapan tentang bagaimana lingkungan telah menjadi lebih bersih karena COVID-19. Virus ini memaksa kita untuk liren (berhenti) dan membuat waktu yang cukup untuk seekor Capung, baik yang Jarum atau Biru, untuk tumbuh dan berkembang. Meskipun ada yang harus pergi sebagaimana terjadi pada Kang Ajip, alam tetap menyeimbangkannya dengan energi hidup dan kehidupan.

Persepsi atas Capung Biru ini juga melambungkan ingatan saya ke masa kecil. Saat berusia sekira 8 atau 9 tahun, saya ingat betapa senangnya saya bermain dengan Capung dengan berusaha menangkapnya. Lebih dari sekali saya berhasil menangkapnya. Teknik yang saya pakai untuk menangkapnya adalah membuat Capung itu pusing untuk memprediksi arah datangnya tangan. Tangan diputar seperti pusaran hingga menutup arah terbang si Capung. Kalau diingat skalanya, yang lebih mudah adalah menangkap Capung Hijau Kehitaman, lalu yang warnanya Merah, dan terakhir yang Biru ini. Saya tidak terlalu suka menangkap Capung Jarum karena tubuhnya yang rapuh. Cuma sayangnya, meskipun tidak bermaksud menyakiti, seringkali Capung ini patah sayapnya atau kejadian lain yang lebih fatal karena tenaga tangan yang tak tertahan. Kalau dipikir lagi sekarang ini, saya merasa saya ini terlalu barbar dengan kelakuan tersebut. Mohon maaf ya Capung! Semoga kalian yang tersakiti, juga dapat kedamaian di sana. _/|\_

III. Perjalanan Hinayu Buana dalam “New Normal” atau Setelahnya

Istilah New Normal untuk saya terkesan aneh tetapi nyata. Meskipun agak mirip dengan diksi acara film, tetapi ini ekspresi yang tepat untuk istilah tersebut. Anehnya, ini terjadi karena kata Normal itu artinya tidak jelas acuannya. Apa sih yang dimaksud dengan Normal? Ketika Anda terbiasa dengan sesuatu hal, maka ini yang dikatakan sebagai Normal. Misalnya, Anda menggunakan pasta gigi dengan yang ada dijual di warung, toko, ataupun mall, maka Anda akan bilang itu biasa saja dan wajar. Inilah macam kenormalan orang menggosok gigi yang dikenal dalam perspektif orang sekarang. Padahal, sebelum ada pasta gigi, orangtua kita dahulu (zamannya Kakek atau Nenek), menggosok gigi dengan tapas diberi pecahan bata atau arang halus di pinggir sungai menjadi sesuatu yang biasa atau wajar. Inilah kenormalan masa Kakek atau Nenek dalam hal menggosok gigi.

Makanya, ketika istilah Normal diberi tambahan kata New, ya jelas ini sesuatu yang berlebihan. Kalau di filsafat, fenomena serupa ini terjadi pada kata Postmodern. Modern sendiri, menurut kamus Merriam-Webster daring, artinya adalah “of, relating to, or characteristic of the present or the immediate past.” Artinya, kondisi di saat inilah yang disebut Modern karena berkenaan dengan kekinian. Namun, penggunaan Modern menjadi acapkali ngawur dan dipaksakan dengan memberi makna untuk satu periode tertentu yang dimulai dari sejak Renaisans (lihat dan bdk. bahasan ini dalam F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia, 2004, hal. 2-3). Akibatnya, penamaan Postmodern muncul untuk membuat babakan baru dalam filsafat yang hendak mengatasi semangat filsafat sebelumnya.

Terlepas dari keanehan tapi nyata ini, yang tidak terlalu penting untuk terus diperdebatkan, saya melihat bahwa kondisi pasca COVID-19 akan membawa revolusi yang luar biasa pada semua aspek dan dimensi kehidupan. Dalam banyak benak orang, hal itu masih akan terasa sama saja. Proses tersebut akan terlihat mirip dengan pergantian dari cara menggosok gigi sebagaimana telah disebutkan. Namun, bagi saya pribadi, ini akan membawa satu perspektif yang lain dan perubahan pun akan mulai terjadi secara cepat. Kalau mengambil sisi positifnya, hal ini akan bertumpu pada dimensi hinayu buana (memperindah alam). Akan ada banyak orang yang menjadi sadar untuk merasa lebih dekat dengan alam dan memperbaiki hubungan dengannya. Fenomenanya sudah terlihat saat pandemi COVID-19 di Jakarta. Orang-orang dengan antusias membagikan foto Gunung Salak atau Pangrango di media sosial. Tentu akan menyenangkan ketika Gunung Salak atau Pangrango terlihat dengan jelas dari Jakarta selamanya. Ini akan membuat Jakarta seibarat Tokyo dengan latar Gunung Fuji di sebelah baratnya.

Dalam konteks saya pribadi, hinayu buana akan bertumpu pada dua konsep dasar dalam alam pikir Sunda, yaitu buana alit (jagad kecil/microsmos) dan buana ageung (jagad besar/macrocosmos). Keseimbangan antara keduanya menjadi penting agar apa yang terjadi di buana ageung, semisal pandemi COVID-19, dapat juga dipahami dalam buana alit yang ada dalam diri manusia. Ketika sinkronisitas itu tak terjadi, yang ada dan tampak hanya keruntuhan saja seperti yang saya rasakan. Apa yang terlihat canggih dan tampak jumawa dari teknologi masa kini ternyata belum dapat mengatasi apa yang ditantangkan alam pada kita. Manusia memang dapat beradaptasi setelahnya, tetapi tak perlu juga harus melampauinya. Masih ada banyak ruang kosong dalam ruang pengetahuan kita. Alam pun mengajari kita dengan cara yang indah saat pandemi COVID-19, menghembus bagai badai lembut di telapak tangan.

Depok, 31 Juli 2020