Pendahuluan
Tulisan singkat ini hendak membahas apa yang dikemukakan oleh Carol Stephanus de Beer mengenai Sains Informasi sebagai proyek Antar-Sains, terutama dalam bab I bukunya yang berjudul Information Science as an Interscience: Rethinking Science, Method and Practice (2015). De Beer menggarisbawahi bahwa proyeknya tersebut didasarkan pada suatu model filsafat tak-kritis dalam pemikiran Michel Serres dan Bruno Latour (2015, p. 3). Keputusan yang demikian ini bukannya tanpa alasan mengingat tradisi filsafat kontemporer lebih banyak didominasi oleh pemikiran kritis, baik dari kalangan Fenomenologi, Teori Kritis, Pascamodernisme, Pascastrukturalisme, hingga Feminisme. De Beer nampaknya gerah dan jengah karena ia tidak dapat mendasarkan sains informasi dalam suatu pijakan yang kokoh jika hal itu mengambil sumber inspirasinya dari tradisi filsafat kritis.
Meski ada kegerahan dan kejengahan yang demikian, ia menyadari sepenuhnya bahwa sains tetap perlu mendasarkan dirinya pada suatu kerja filsafat. Dalam komentarnya sendiri, “peristilahan, kosakata dan bahasa sains membutuhkan suatu pendampingan anggitaniah dan filosofis” (De Beer, 2015, p. 4). Dengan formasi yang demikian ini dan ketidaksetujuannya pada filsafat kritis, ia pun lebih mengutamakan suatu pengertian filsafat dalam kerangka yang lebih umum dan sederhana. Bahwa filsafat itu adalah “pemikiran manusia dan bagaimana pemikiran manusia itu menemukan ungkapannya dan memenuhi suatu orientasi yang diberlakukan dalam berbagai situasi” (De Beer, 2015, p. 2).
Pertimbangan Posisional dan Tawaran Pemikiran Tak-Kritis De Beer
De Beer sendiri nampaknya telah membaca beragam pemikiran filsafat. Itu terlihat dalam pembahasan bukunya, terutama dalam pengantar di bab I. Pada awal pengantar tersebut, ia mengatakan bahwa “proyek dari suatu filsafat tak-kritis atas informasi itu tiada lain daripada pemertahanan kebutuhan akan yang filosofis dalam usaha kognitif, epistemik dan informasional, dan secara sinambung berupa suatu cara untuk menolak peminggiran yang ideologis, formalis, atau estetis atas hal yang filosofis” (De Beer, 2015, p. 1). Atas sikapnya serupa ini, kita dapat melihat bahwa ia tidak antipati terhadap filsafat. Malah, terhadap para saintis atau siapa pun yang memusuhi filsafat, ia merasa “lucu” karena ia sependapat dengan Aristoteles yang mengatakan bahwa orang yang berusaha menafikan filsafat justru sedang mempraktikkan kerja filsafat sesuai dengan yang ia definisikan.
Beranjak kepada tawaran pemikiran tak-kritis dari De Beer, ia menghadirkan usulan untuk menggunakan filsafat dalam tiga mode berpikir. Mode berpikir pertama adalah apa yang disebut sebagai pemikiran kompleks (complex thinking). Basis pemikirannya sendiri berasal dari gagasan Edgar Morin. Pada intinya, gagasan berpikir kompleks ini hendak “menautkan antara yang sederhana dan kompleks dalam satu tatanan agar terhindar dan menghapus penyakit ketidakmampuan teori dogmatis, patologi nalar yang terwujud secara sebagian, sistem sepihak dari gagasan yang tidak mengakui bahwa bagian dari kenyataan itu irasional dan tak terukur, bahwa rasionalitas harus masuk ke dalam dialog yang konstan dengan yang irasional daripada menolaknya sama sekali atau menjauhinya” (De Beer, 2015, p. 8).
Dalam mode berpikir kedua, pola pikirnya bersifat majemuk (multiple thinking). Tawaran berpikir yang demikian mendapat basisnya pada pemikiran Gillez Deleuze dan Felix Guattari. Anggitan rhizome (rimpang) pun menjadi sentral pada konteks ini. “Setiap titik pada rhizome dapat dihubungkan dengan yang lainnya dan dapat mengarahkan kepada pola tanpa tatanan atau kekacauan” (Deleuze & Guattari via De Beer, 2015, p. 9). Untuk mewujudkan pikiran majemuk serupa ini, strateginya adalah dengan memperhatikan keberhubungan dan ketergabungan antara hal-hal yang ditelaah dengan hal lainnya yang mungkin tidak berkaitan. Dengan cara ini, menurut Serres, penemuan akan menjadi satu kenyataan (Serres via De Beer, 2015, p. 9).
Terakhir, mode berpikirnya disebut dengan pemikiran bertemuan (inventive thinking). Dalam pemikiran ini, ia berkaca dari gagasan Bernard Tschumi tentang bagaimana kemungkinan dari penggabungan itu dapat disatukan dengan mengambil inspirasi dari budaya yang kita miliki maupun yang lain. Akan menjadi sangat mengagumkan bila wilayah, gagasan, maupun bentuk yang sebelumnya tak saling berhubungan bersatu dalam cara yang tidak diduga (De Beer, 2015, p. 9).
Selain elaborasi yang demikian ini, De Beer juga melakukan rangkulan gagasan lainnya yang menarik. Misalnya, ia mengambil anggitan dari Bernard Stiegler tentang pemikiran pemaduan (compositional thinking) daripada pemikiran bersilangan (oppositional thinking). Pemikiran bersilangan ini merupakan dasar logika dari tradisi kritis dalam filsafat kontemporer dengan ciri ekslusi, penolakan, pembandingan, dan linieritas. Sementara itu, garis sebrangnya adalah pemikiran bertemuan yang memiliki ciri mampu untuk menemukan sesuatu yang berbeda, tak terduga, dan baru (De Beer, 2015, p. 7).
Kesimpulan
Keinginan De Beer yang hendak memadupadankan gagasan-gagasan inspiratif yang dapat mendorong pengembangan sains informasi menjadi antar-sains cukup menarik untuk dicermati. Daripada masuk dalam perdebatan yang tersebar dalam tradisi filsafat kritis, ia lebih memilih untuk berada di sisinya saja. Deklarasi serupa ini menjadi satu hal yang penting karena semangatnya De Beer mirip dengan pola yang dikumandangkan oleh John Dewey tentang bagaimana penyelidikan seharusnya bersifat produktif.
Apa yang dipikirkan oleh De Beer boleh jadi dapat diberi label sebagai pragmatisme sains informasi. Namun, meskipun label tersebut tidak tepat benar demikian karena elaborasinya yang plural, De Beer telah menyumbangkan gagasan yang berharga dalam pengembangan sains informasi. Tawarannya bukan tidak mungkin dapat menjadi batu landasan untuk pengembangan sains informasi yang lebih baik.
Referensi
De Beer, Carol Stephanus. (2015). Information Science as an Interscience: Rethinking Science, Method and Practice. Amsterdam: Chandos Publishing.
Unduh artikel dalam bentuk pdf