Usaha membaca tatar Sunda adalah sebuah upaya yang cukup pelik sebenarnya bila dibandingkan dengan pembacaan yang dilakukan untuk wilayah tetangganya, wewengkon Jawa. Ini bukan karena bahasa Sunda lebih sulit bila dibandingkan dengan bahasa Jawa. Namun, saya kira, ini lebih disebabkan oleh minimnya tulisan yang dibuat mengenai tatar Sunda oleh para sarjana maupun para ahli bila dibandingkan dengan tulisan mengenai wewengkon Jawa. Dari sekian tulisan yang ada mengenai tatar Sunda, hanya sedikit yang mampu menarik minat intelektual untuk mengkajinya, terkecuali disertasi Sartono Kartodirdjo yang berjudul “The Peasant’s Revolt of Banten in 1888”.
Tulisan alm. Prof. Sartono tersebut memang cukup monumental mengingat ia menyajikan pemaparan dan tafsirannya atas arsip-arsip kolonial di Belanda juga wawancara lapangan mengenai masalah ini secara argumentatif. Dari karya historis ini, kajian sejarah di Indonesia mulai menemukan bentuknya. Namun demikian, meskipun karya ini cukup representatif sebagai suatu karya rintisan di bidang sejarah, ia tidak bisa dibilang sebagai karya representatif untuk kajian mengenai tatar Sunda. Sebab, karya ini hanya membahas satu bagian kecil saja dari sejarah yang ada di tatar Sunda.
Dalam benak saya pribadi, karya representatif yang dimaksud adalah karya historis mengenai tatar Sunda dengan pendekatan sejarah total ala madzhab Annales dari Prancis. Walaupun sudah ada karya rintisan sejarah total mengenai Nusantara secara lebih luas, ia belum “menyentuh” tatar Sunda secara signifikan. Bagi sejarahwan total yang dianggap memiliki reputasi internasional, semisal Denys Lombard atau Anthony Reid, mereka sangat perhatian pada Nusantara-Jawa atau Asia Tenggara-Sumatera, tetapi tidak untuk Sunda.
Meskipun begitu, saya tidak menutup mata dengan usaha yang telah dilakukan oleh para sejarahwan pengkaji tatar Sunda. Dalam konteks ini, sebutlah sejarahwan semisal Edi S. Ekadjati, Ajip Rosyidi, Atja, Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Undang A. Darsa, hingga Agus Aris Munandar, mereka ini semua telah berjasa membuka leuweung geuleudegan (hutan belantara) kajian sejarah dan budaya tatar Sunda. Untuk yang selebihnya, saya tidak bisa menyebutkan satu per satu di luar orang-orang ini mengingat bacaan saya juga terbatas.
Apa yang telah mereka kerjakan, meski bukan sejarah total, dapat memberikan fondasi mengenai kemungkinan diwujudkannya pendekatan tersebut di atas pada sejarah tatar Sunda. Satu hal yang saya harapkan di luar karya mereka ini sebenarnya berasal dari buku “Sejarah Tatar Sunda” karya Prof. Nina Lubis, dkk. Buku terakhir adalah sejarah lengkap yang membahas tatar Sunda dari masa silam hingga di masa reformasi. Sebuah proyek luar biasa dengan dukungan dana dari Pemerintah Jawa Barat semasa Gubernur Danny Setiawan. Ketebalan bukunya pun mengesankan karena terdiri dari dua jilid dengan masing-masing halaman berjumlah sekitar 500-an.
Kesan pertama memang menggoda, namun ternyata tidak untuk isinya. Bagaimana tidak, ketika saya punya harapan akan membaca “Sejarah Tatar Sunda” selaiknya membaca “Nusa-Jawa” dari Lombard atau “Tanah di bawah Angin” dari Reid, asa ini keliru dan terpaksa diparkir dalam kesabaran. Dalam resensi yang dibuat oleh Ajip Rosyidi, karya “Sejarah Tatar Sunda” (khususnya untuk jilid ke-2) dikritik dengan nada keras. (Ajip Rosyidi dalam serial kajian Sundalana 2, 2004) Isinya cukup mengecewakan ketika saya mengeceknya sesuai dengan panduan dari kritik Ajip. Yang paling parah adalah banyaknya kesalahan cetak atau ketik tanpa adanya ralat. Dengan kondisi serupa ini, saya pun menjadi berpikir kalau memang belum saatnya untuk karya sejarah total atas tatar Sunda diterbitkan. Barangkali, jika ada karya tersebut (namun saya belum mendapatkan dan membacanya), mungkin saja akan menyumbangkan satu pemahaman baru mengenai masa lalu Nusantara itu sendiri secara lebih baik.
Seperti telah dikatakan oleh Marcus Tulius Cicero dalam “De Oratore”, II, 36:
“Historia vero testis temporum, lux veritatis, vita memoriae, magistra vitae, nuntia vetustatis, qua voce alia nisi oratoris immortalitati commendatur?”
(Dengan apa suara lainnya itu, daripada sang orator, adalah sejarah, bukti dari waktu, cahaya dari kebenaran, kehidupan dari ingatan, petunjuk kehidupan, bentara keantikan, telah disanggakan pada keabadian?) (dikutip via http://en.wikipedia.org/wiki/Magistra_vitae)
Sebenarnya, dalam konteks pengharapan, masih ada naskah-naskah yang berasal dari Panitia Wangsakerta sebagai sumber sejarah alternatif tatar Sunda. Naskah-naskah ini menyajikan sejarah tatar Sunda masa silam dengan cukup lengkap bahkan hingga sejarah Nusantara. Sayangnya, naskah-naskah ini tidak lengkap dan masih belum dapat dibaca secara luas karena tercecer dan tersebar di berbagai tempat. Saya sendiri baru mendapatkan satu naskah terjemahannya yang berjudul “Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara”. Inipun baru parwa (bagian) kedua sargah (jilid) ketiga.
Terlepas dari kapan naskah-naskah Panitia Wangsakerta ini menjadi lengkap kembali atau ada karya sejarah total tentang tatar Sunda, buku “Sejarah Tatar Sunda” adalah suatu usaha untuk menjawab kepelikan yang menyelimuti kajian tatar Sunda. Kekurangannya adalah untuk kita perbaiki bersama. Saya tidak patah arang hanya karena buku ini tidak memberikan apa yang sedang saya cari. Namun, saya sangat mengapresiasi usahanya dengan acungan jempol.
Semoga kita tetap dapat menjaga semangat kita untuk menemukan masa lalu kita yang hilang. ^_^
Depok, 30 Maret 2014.
Catatan: hatur nuhun kanggo kang Deni Rachman @ LawangBuku atas kintunan bukuna. parantos katampi lengkap.
Image by Panji Arista from Pixabay