Pendahuluan
Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas tentunya menjadi sesuatu yang sangat kita kenal. Terlebih lagi, ini merupakan konsep yang menjadi basis untuk pengenalan sesuatu hal. Kita akan mengenali sesuatu halnya itu kalau kita tahu identitasnya. Ini juga akan berarti bahwa kalau kita mengenali identitas sesuatu hal, maka kita akan memiliki pengetahuan akan sesuatu halnya itu. Akan tetapi, apa yang sesungguhnya dimaksudkan sebagai identitas itu sendiri?
Identitas adalah sebuah istilah serapan yang diturunkan dari bahasa Latin, yaitu dari kata idem yang artinya sama. Secara filosofis, ini berarti suatu konsep yang memiliki dua pengertian: (1) singleness over time dan (2) sameness amid difference.[1] Kedua konsep ini menunjukkan bahwa ada persamaan dan perbedaan sekaligus yang dikandung dalam pengertian identitas.
Namun demikian, sebenarnya akan lebih mudah bila kita memahami konsep identitas ini dalam bentuk contoh. Ketika seseorang lahir, ia tentu akan mendapatkan identitas yang bersifat fisik dan juga non-fisik. Identitas fisik yang terutama dimiliki adalah apakah ia berjenis kelamin pria atau perempuan. Sedangkan untuk identitas non-fisik adalah nama yang ia sandang, juga status yang ada pada keluarga mana ia dilahirkan. Setelah beranjak dewasa, tentu ada perubahan dalam segi fisiknya. Tetapi jenis kelamin adalah sesuatu yang tetap sama sebagai identitas fisik, namun dapat saja diubah secara artifisial. Begitu pun dengan identitas non-fisik, nama yang ia sandang tetaplah sama sebagai identitas non-fisik hingga ia mengubahnya. Tetapi, status keluarganya dapat saja berubah tanpa harus ia mengubahnya.
Itulah yang dimaksud dengan identitas. Kalau boleh kita definisikan secara sederhana, apa yang dimaksud identitas adalah karakteristik esensial yang menjadi basis pengenalan dari sesuatu hal. Ini adalah definisi umum yang sederhana mengenai identitas dan akan kita pakai dalam pembahasan berikutnya mengenai politik identitas.
Pemahaman Politik Identitas
Kita telah mengetahui secara sederhana apa yang dimaksudkan sebagai identitas. Namun demikian, sebelum kita masuk dalam pembahasan politik identitas, penulis ingin membandingkan dulu konsep identitas sebagai sesuatu yang dipahami secara budaya. Dalam keterangan dari Chris Barker, konsep identitas adalah “it pertains to cultural descriptions of persons with which we emotionally identify and which concern sameness and difference, the personal and the social”. Ia melanjutkan penjelasannya bahwa identitas itu tidak lain daripada konstruksi budaya karena “the discursive resources that form the material for identity formation are cultural in character”.[2]
Apa yang dijelaskan Barker ini menambah pengertian kita, bahwa identitas itu bukanlah sesuatu yang terberi (given), tetapi merupakan sesuatu yang dibuat (created). Identitas adalah sesuatu yang dibentuk dalam interaksi antar individu. Oleh karenanya, identitas itu pengertiannya sangat bergantung pada situasi di mana orang itu lahir dan ada dalam masyarakat yang seperti apa. Ini sekaligus menandakan bahwa identitas memiliki sifat konstektual.
Dari pemahaman yang serupa ini, bila kita telaah apa yang dimaksud sebagai politik identitas, maka hal tersebut akan menjadi wacana yang sangat konstektual pula. Basis kultural menjadi landasan pemahaman suatu politik identitas. Dalam kaitannya dengan hal ini, menjadi penting untuk dipertimbangkan apa yang diungkapkan oleh Fuad Hassan mengenai modus interaksi antar subjek yang dibaginya menjadi dua macam. Pertama adalah modus kami (we-object) dan yang kedua adalah modus kita (we-subject).[3]
Pada modus kami, hubungan antar individu diibaratkan sebagai suatu hubungan diametral yang membuat satu kelompok masyarakat berhadapan dengan satu kelompok masyarakat lainnya. Ada segmentasi kultural yang cukup kuat dalam cara subjek menghadapi yang lainnya dan itu terbentuk dalam pandangan bahwa subjek lain adalah objek. Sementara itu, pada modus kita, hubungan antar individu diandaikan sebagai suatu hubungan komplementer yang membuat suatu kelompok masyarakat dapat bekerja sama dengan suatu kelompok masyarakat lainnya dengan cara yang lebih baik. Subjek di sini tidak berupaya membuat suatu jenis pemisah antar subjek, namun menganggap subjek yang lainnya akan sama seperti dirinya.
Dua modus ini ternyata yang menjadi bagian terpenting dari operasionalisasi politik identitas di lapangan. Sebab, hubungan antar individu menurut suatu politik identitas akan dibuat diametral atau komplementer bergantung pada basis seperti apa relasi antar individu yang ia pegang sebagai pedoman. Selain itu, ini karena politik identitas juga mengandung sejenis kepentingan tertentu yang melandasi pola operasionalisasinya. Lalu, seperti apakah pola operasionalisasi politik identitas dalam konteks multikultural?
Pola Operasionalisasi Politik Identitas
Operasionalisasi politik identitas yang pada dasarnya bersifat budaya akan menempati tiga wilayah publik yang menjadi pertarungan di antara banyak kepentingan kultural. Pertama, operasionalisasi politik identitas dimainkan peranannya secara optimal melalui roda pemerintahan. Artinya, pada sisi ini, politik identitas suatu kelompok akan menjadi identitas nasional suatu bangsa melalui penguasaannya atas negara. Pada konteks bernegara, kepentingan kelompok yang bersifat kami dapat diatasi menjadi kita dengan pengandaian bahwa identitas etnis tidak menjadi identitas dominan.
Sisi kedua yang dapat menjadi lahan beroperasinya politik identitas adalah wilayah agama. Wilayah ini dapat mengatasi wilayah negara bila aspek-aspek identitas etnis dapat diatasi. Sehingga, bila politik identitas beroperasi melalui wilayah ini, kepentingan kelompok yang paling menonjol adalah kepentingan kelompok yang berlandaskan pada modus kami namun kehilangan ciri identitas etnisnya.
Yang terakhir adalah wilayah hukum. Ini merupakan wilayah paduan antara wilayah negara dan agama, karena masing-masing memiliki aturannya sendiri. Pada sisi ini, politik identitas beroperasi dengan cara pembagian kekuasaan, di mana identitas kelompok akan memasukkan kepentingan identitasnya secara partikular. Kemungkinan modus kita akan menjadi dasar bagi hubungan politik identitas yang dibangun sangatlah besar. Namun demikian, hal ini tidak akan terjadi seandainya kepentingan dari politik identitas etnis yang bersifat minoritas tidak terjembatani melalui pengakuan hak-haknya untuk berpartisipasi di wilayah pembuatan keputusan hukum secara bersama.[4]
Penutup
Demikian, uraian singkat dari penulis yang dapat disampaikan sebagai bahan diskusi kali ini. Pada artikel ini, masih banyak hal yang belum penulis bahas. Ini termasuk pada pembahasan mengenai detail operasionalisasi politik identitas beserta contoh riilnya. Namun demikian, sumbang saran dari semuanya diharapkan dapat menyempurnakan artikel ini.
Artikel ini disampaikan sebagai bahan diskusi “Menelusuri Basis Teoretis Multikulturalisme – Suatu Kajian Filsafat” yang diselenggarakan oleh Desantara, Jakarta, untuk pertemuan yang kedua.
[1] Nicholas Bunnin dan Jiyuan Yu, 2004, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy, Blackwell Publishing, Oxford, hal. 325.
[2] Chris Barker, 2004, The SAGE Dictionary of Cultural Studies, Sage Publications, London, hal. 93.
[3] Pembahasan tentang dua modus ini dapat dibaca dalam Fuad Hassan, 1974, Kita dan Kami: Suatu Analisa tentang Modus Dasar Kebersamaan, Bulan Bintang, Jakarta.
[4] Pembahasan yang panjang lebar mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan politik identitas pada tiga wilayah ini dalam konteks Indonesia dapat dibaca dalam Martin Ramstedt dan Fajar Ibnu Thufail (Ed.), 2011, Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan pada Masa Pasca-Orde Baru, Grasindo, Jakarta.
Unduh artikel dalam bentuk pdf