Politik Perbedaan sebagai Modus Multikulturalisme

Pendahuluan

Perbedaan (difference) adalah sesuatu yang boleh dikatakan terberi (given). Ia ada untuk menghasilkan proses identifikasi terhadap sesuatu yang memungkinkan kita untuk mengenali sesuatu dari sesuatu yang lainnya. Dengan kata lain, ia memiliki fungsi atributif atau pemberian ciri dalam sesuatu hal.

Dalam kaitannya dengan ini, apa yang dimaksud perbedaan menjadi lebih jelas pengertiannya bila dikontraskan dengan persamaan. Perbedaan menghasilkan sesuatu pemaknaan yang berlawanan dengan persamaan. Namun, kita harus mencatat sesuatu hal yang penting. Perbedaan, walaupun dapat diartikan sebagai “tidak sama” (not the same), tetapi perbedaan tidak dapat begitu saja diartikan sebagai “tidak sejajar” (inequal). Sebab, konsep sama ini mengacu pada sesuatu identitas, sedangkan konsep sejajar mengacu pada sesuatu posisi.

Persis dalam kerangka yang berlawanan dengan hal inilah kita semua seringkali memahami pengertian perbedaan. Ini terutama ketika kita memahami perbedaan sebagai sesuatu yang tidak sejajar. Pada konteks ini, penulis ingin mengatakan bahwa ketika kita memahami perbedaan sebagai sesuatu yang berupa ketidaksejajaran, pada saat inilah kita mendapatkan masalah perbedaan yang utama. Kenapa demikian halnya?

Ketidaksejajaran dan Perbedaan

Ketidaksejajaran, seperti biasanya dipahami, selalu merupakan posisi yang hierarkhis. Posisi yang hierarkhis ini dalam contoh yang paling mudah ditemui dapat dilihat dalam posisi atasan dan bawahan yang ada dalam jenjang organisatoris. Selain itu, ia juga ada dalam kehidupan masyarakat berupa stratifikasi sosial berdasarkan prinsip-prinsip tertentu, terutama secara jelas nampak dalam masyarakat hindu melalui konsep kasta. Hal inilah yang mengandaikan bahwa kalau kita melihat perbedaan, sudah pasti akan memaknainya sebagai ketidaksejajaran. 

Namun, ini semua tidaklah melulu seperti yang kita lihat. Dalam perbedaan pun sebenarnya hadir kesejajaran. Sebab, dalam identitas sesuatu hal, ia tidak hanya terdiri dari perbedaan, tetapi juga ada persamaan. Ini seibarat oposisi komplementer dalam konsep Yin dan Yang. Bahwa ada kesejajaran dalam perbedaan kita dapat melihatnya dalam contoh berikut ini.

Etnis Padang akan sangat berbeda tentunya bila dibandingkan dengan etnis Betawi. Namun, antara etnis Padang dan etnis Betawi itu tetap memiliki persamaan. Mereka secara sejajar hidup di wilayah negara Indonesia, walaupun posisinya yang satu ada di pulau sumatera dan yang satu ada di pulau jawa. Mereka juga secara sejajar membentuk identitas mereka sebagai etnis dengan budaya dan tradisi, walaupun berbeda dalam cara mengekspresikannya.

Berdasarkan pada contoh di atas, kita sebenarnya dapat memperhatikan secara seksama bahwa ternyata perbedaan yang ada dapat menghasilkan kesejajaran dan ketidaksejajaran sekaligus. Hal ini sepertinya mengandaikan sesuatu yang dilematis, karena dua hal yang kontradiktif hadir dalam satu wadah. Namun demikian, inilah kenyataan yang selama ini kita hadapi.

Lalu, bila ketidaksejajaran dan perbedaan sudah dapat dipahami, apa relevansinya kedua hal tersebut dalam konteks perbincangan multikulturalisme?

Politik Perbedaan vis-à-vis Universalitas

Sebelum kita membahas pertanyaan yang sudah disampaikan dalam seksi sebelumnya, ada pendapat yang menarik dari Iris Marion Young. Ia mengidentifikasi bahwa dalam kaitannya dengan hidup sebagai warga negara, ada hal yang perlu kita kaji secara kritis. Ini terletak dalam konsep kewarganegaraan yang universal (universal citizenship). Ada sesuatu masalah dalam konsep ini. Ini karena konsep universal mengandaikan problematika yang cukup serius untuk diatasi dalam konteks kehidupan bernegara.

Pertama, ia mengatakan bahwa, “… the ideal that the activities of citizenship express or create a general will that transcends the particular differences of group affiliation, situation, and interest has in practice excluded groups judged not capable of adopting that general point of view; the idea of citizenship as expressing a general will has tended to enforce a homogeneity of citizens. …”. Kedua, ia menambahkan bahwa, “… where differences in capacities, culture, values, and behavioral styles exist among groups, but some of these groups are privileged, strict adherence to a principle of equal treatment tends to perpetuate oppression or disadvantage. …”.[1]

Dalam pendapat Young ini, kita dapat membaca bahwa masalah homogenitas yang telah dibahas dalam diskusi sebelumnya itu menjadi masalah pertama dari kewarganegaraan yang universal. Bahwa ketika seseorang menjadi warga negara Indonesia, misalnya, ia akan dapat menjadi homogen secara kultural walaupun ada identitas kultural yang berbeda-beda.

Masalah kedua yang diidentifikasi Young dari prinsip kewarganegaraan yang universal adalah adanya kecenderungan untuk penindasan berdasarkan pada kesetiaan atas prinsip kesejajaran. Ini karena ada kelompok atau etnis tertentu yang mendapat keistimewaan. Kasus yang seperti ini juga terjadi di Indonesia, ketika “Jawa” menjadi lebih dominan daripada non-Jawa.

Pada sisi ini, kesejajaran boleh dikatakan menghasilkan efek negatif. Sesuatu yang nampaknya justru bertolak belakang dengan prinsip kesejajaran itu sendiri yang memiliki sifat emansipatoris. Namun demikian, ketidaksejajaran bukanlah konsep pengganti yang cukup ideal atas problem serupa ini. Sebab, ketidaksejajaran justru akan menghasilkan efek negatif lainnya dalam relasi bernegara. Secara sederhana, mengikuti apa yang dikatakan Young, prinsip kesejajaran akan menghasilkan penindasan. Sedangkan prinsip ketidaksejajaran akan menghasilkan pemerasan berdasarkan hubungan atasan bawahan. Sebab, negara adalah suatu organisasi yang bersifat hierarkhis.

Hospitality sebagai Alternatif Politik Perbedaan

Setelah kita melihat problematika dalam hidup bernegara seperti diidentifikasi Young dalam seksi sebelumnya yang menegaskan bahwa prinsip kesejajaran justru akan menghasilkan satu jenis penindasan yang baru, maka mungkin sebagian orang akan melihat bahwa prinsip emansipatoris yang digunakan untuk mengatasi problem dalam demokrasi menjadi sesuatu yang mengalami kebuntuan. Sebab, kesejajaran tidak lain dari apa yang diperjuangkan dalam demokrasi. Prinsip kesejajaran pada akhirnya senasib dengan prinsip toleransi. Bahwa ada problem dalam prinsip-prinsip ini yang mengandaikan bahwa aspek emansipatoris yang ada dikandungnya masih memiliki bias penguasaan.

Namun demikian, bagi sebagian yang lain, kebuntuan bukanlah jawaban. Pada sisi ini, apa yang diungkapkan oleh Jacques Derrida menjadi sesuatu yang berharga untuk dipertimbangkan. Prinsip ini mengandaikan bahwa kita “akan” menjadi tuan rumah dalam wilayah kita sendiri. Namun demikian, walaupun kita “penguasa” rumah, prinsip ini juga mengandaikan bahwa kita harus terbuka pada tamu yang hadir di rumah kita itu. Ada prinsip kontrol sekaligus pembukaan wilayah dalam prinsip ini.[2]

Sehingga, kalaupun memang perbedaan itu hadir, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kita menyeimbangkan kekuasaan pada akhirnya. Bukan sesuatu yang ada dalam prinsip kesejajaran yang ingin menyamakan kekuasaan.

Penutup

Inilah yang dapat disampaikan dalam makalah mengenai Politik Perbedaan dalam konteks Multikulturalisme. Semoga apa yang disampaikan dapat menjadi bahan diskusi yang menyenangkan dan juga cukup hangat untuk diperdebatkan. 


Artikel ini disampaikan sebagai bahan diskusi “Menelusuri Basis Teoretis Multikulturalisme – Suatu Kajian Filsafat” yang diselenggarakan oleh Desantara, Jakarta, untuk pertemuan yang ketiga.

[1]    Iris Marion Young, “Polity and Group Difference: A Critique of the Ideal of Universal Citizenship”, dalam Derek Matravers dan Jon Pike, 2003, Debates in Contemporary Political Philosophy: An Anthology, Routledge, London, hal. 220.

[2]    Lihat pembahasan sederhana untuk konsep ini dalam Internet Encyclopedia of Philosophy, “Jacques Derrida (1930-2004)”, seksi Hopsitality di alamat: <http://www.iep.utm.edu/derrida/#H6>


Unduh artikel dalam bentuk pdf